Senin, 30 Desember 2013

BAHASA INDONESIA, CERPEN

NAMA      : HENDAH LAHYUNITA KUSIANDARI
KELAS      : 3EB08
NPM         : 23211278

Darkness
        Di tengah kegelapan aku melihat dengan mataku sendiri bahwa orang yang sekarang ini menjadi pacarku, orang yang selama ini paling mengerti aku, sangat aku percayai. Ia sedang mencium seorang perempuan di ruang osis.
        Aku terdiam, terpaku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Menahan tangis yang sepertinya ingin keluar. Aku berlari. Berlari sangat cepat, sampai aku sempat terjatuh. Aku berlari menuju lapangan sekolah yang hanya di terangi oleh beberapa lampu yang redup.
        Aku duduk, duduk terjatuh. Di tengah lapangan. Mengeluarkan suluruh tangisku yang ku tahan. Membiarkan air mataku jatuh membasahi rokku.
        Aku tak tahu seberapa lama aku menangis disini. sampai ada seseorang yang memegang pundakku. “kamu kenapa sayang?” tanya Putra.
        Aku segera berdiri, menghapus air mataku. Membalikkan badan kearahnya. Menatap Putra dan Zia bergantian. Aku berjalan menenteng tas ranselku. Berjalan menjauhi mereka.
        “Nana. Nana.” Panggil Putra. Aku terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan Putra.
        Putra berhasil menghentikan langkahku, ia menarik tangaku.
        “kamu kenapa?” tanya Putra yang entah sejak kapan sudah ada di hadapanku. Aku terus menundukkan kepala. Tak ingin melihatnya.
        Putra menarik wajahku, membuatku menatapnya.
        “aku Cuma mau pulang.” Ucapku
        “iya, aku anterin.” Ucap Putra menarikku ke parkiran motor. Aku menurutinya, berjalan di belakangnya dengan menundukkan kepalaku.
        Aku melihat Zia yang sudah duduk di atas motornya. Yang sepertinya sedang menunggu kami. Zia tersenyum padaku, tapi aku tidak bisa tersenyum seperti dulu. Saat aku belum melihat kejadian tadi.
        Putra menyerahkan helm padaku, aku mengambilnya dan duduk di balik punggungnya.
*
        Pagi ini aku sangat tidak semangat mengikuti pelajaran sekolah, masih terbayang di pikiranku kejadian yang terjadi semalam. Mengingat itu membuatku ingin menangis rasanya.
        Aku duduk di bangku ku menyandarkan punggungku ke kursi. Melihat teman – temanku yang berlalu lalang keluar masuk kelas. Aku memang tidak begitu akrab dengan teman – teman satu kelas. Aku sudah terbiasa sendiri dalam kelas.
        Biasanya memang Putra yang menemaniku. Putra, sudah 2 tahun ini ia menjadi pacarku. Aku berkenalan dengannya sewaktu kami bertemu di MOS.
        “mana Putra? Kok gw enggak liat dia?” tanya Sekar teman sebangku ku. Aku meliriknya membetulkan letak dudukku.
        Sekar duduk di sampingku dengan membawa bungkusan roti dan menawarkannya padaku. Aku menolaknya.
        “gak tahu.” Jawabku.
        “lo lagi marahan?” tanya Sekar. Ia memang selalu penasaran tentang segala hal.
        Aku menggeleng, beranjak dari tempat dudukku dan berjalan keluar kelas. Aku masih bisa mendengar suara Sekar yang menyakan aku kemana. Tapi, aku menghiraukannya.
        Aku berjalan tak tahu mau kemana. Aku tidak lapar, aku juga tidak ingin ke toilet. Aku hanya bosan duduk selama jam istirahat di dalam kelas.
        Aku terus berjalan dan tak sengaja melewati ruang osis. Aku berhenti berjalan. terdiam di depan ruang osis. Menatap ruangan itu, kejadian semalam yang aku liat di sana berputar kembali seperti film.
*
        Aku berjalan menuju toilet, yang melewati kelas Putra. Aku mengintip di balik pintu kelasnya. Dan tidak melihat Putra di dalam kelasnya. Aku memetuskan untuk melanjutkan perjalananku ke toilet. Di hadapanku. Putra dan Zia berjalan bersama, tertawa bersama. Zia selalu saja tersenyum, tentang apapun yang di keluarkan dari mulut Putra.
        Aku ingin menghindar, tapi untuk apa aku menghindar. Bukan aku yang salah. Mereka yang berada di hadapanku. Yang membuat aku seperti ini.
        Putra sepertinya mengetahui keberadaanku. Ia tersenyum, dan berjalan ke arahku denga langkah – langkah besar.
        “sms aku enggak di bales?” tanya Putra begitu ia berada tepat di hadapanku. Di sampingnya berdiri Zia yang juga tersenyum padaku.
        “pulsaku abis.” Jawabku berbohong.
        “kamu mau kemana?” tanyanya lagi. Aku tidak mejawabnya, aku hanya menunjuk toilet yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
        “Zi, lo duluan aja ke kelas.” Ucap Putra, Zia hanya tersenyum dan mengangguk. Menepuk pundakku pelan dan berjalan meninggalkan kami berdua.
        Aku berjalan terlebih dahulu, Putra berjalan di sampingku. Aku menatapnya ragu.
        “kamu mau ke toilet?” tanyaku. Putra menggeleng. Aku masuk ke dalam toilet dan entah apa yang dilakukan Putra di luar.
*
        Hari ini ada Try Out yang harus kami jalani, tidak terbayangkan olehku, seberat ini menjadi Siswi kelas 3. Bulan depan, kami sudah menjalani Ujian Nasional. Itu berarti masa – sama SMA kami akan berakhir sudah.
        Teman – temanku sibuk mencari universitas mana yang akan mereka masuki. Tapi, sampai sekarang aku belum tahu. Universitas mana yang akan aku masuki.
        “sayang” panggil Putra, aku menengok yang ternyata Putra sudah duduk di sampingku. Aku sendiri tidak menyadari kapan ia datang.
        “ayo kita keruang BK, aku mau lihat brosur universitas.” Ajak Putra. Aku menggelengkan kepala menolaknya.
        “kenapa? Akhir – akhir ini kamu jadi jarang berbicara denganku.” Ucapnya.
        Apakah ia tidak pernah intropeksi diri. Mengapa sikapku berubah 180  kepadanya. Aku menatapnya kesal. Berjalan keluar kelas meninggalkannya.
*
        Minggu ini kami di sibukkan belajar, karena hari ini, senin sampai kamis. Kami akan menjalani Ujian Nasional bersama siswa lain di seuruh Indonesia.
        Beberapa minggu yang lalu, aku mendapat tawaran dari universitas de Marne-la-Vallée yang berada di perancis. Ini sebuah tawaran yang sangat besar. Tentu saja aku sangat senang, lalu aku segera mengirimkan CV ku pada mereka.
        Mereka bilang kamis ini, mereka akan memberikan surat – surat kepindahanku kasana. Tidak ada yang mengetahui ini kecuali orang tuaku.
        Putra aku belum memberitahunya. Dan aku tidak akan pernah memberitahunya. Menurutku aku dan Putra sudah putus di malam itu. tapi, aku tidak pernah mengatakannya. Aku hanya ingin ia, menyadari sendiri.
*
        Senang, lega bercampur menjadi satu. Hari ini adalah hari terakhir kami Ujian Nasional. Semua bersorak dengan senangnya, tak terkecuali aku. Bereplukan dengan teman sekelasku. Berfoto bersama. Mungkin ini adalah terkahir kalinya aku bertemu dengan mereka.
        Tentunya aku harus mendapatkan foto mereka sebanyak mungkin.
        “wah, hasil jepretan yang bagus.” Ucap Putra yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku. Aku menatapnya kaget.
        Ia menrangkulku sambil megambil alih kameraku yang sekarang berada di tanganya. Aku terus saja menatapnya. Kalau aku sudah mengatakan semuanya. Mungkin aku tidka bisa melihatnya sedekat ini.
        Untuk hari ini, haruskah aku bersikap baik terhadapnya. Dan mengucapkan selamat tinggal?
        “ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanyanya. Tapi, matanya tetap pada kamera yang di pegangya.
        Aku merebut kamera itu. “sekar.” Panggilku. Sekar menengok, aku memberika kamera itu padanya.
        “fotoin kami.” Ucapku pada Sekar. Sekar mengangguk. Kami pun berpose. Putra masih merangkul dan tak lupa aku tersenyum.
        Sekar mengembalikkan kamera padaku. “thanks” ucapku. Dan melihat hasil foto bersama Putra. Aku tersenyum melihat hasilnya.
        “foto terakhir kita.” Ucapku. Mematikan kameraku dan memasukkannya kedalam tas.
        “kenapa terakhir?” tanya Putra, aku hanya menatapnya dan tak mejawab pertanyaannya.
        “Nana, lo di panggil guru BK.” Ucap Nando ketua kelas, kelasku. Aku menjinjing tasku di pundak dan berjalan keluar kelas.
        “hey, jawab pertanyaan aku. Kenapa terkahir?” tanya Putra yang berajalan di sampingku.
        “kamu akan tahu.” Ucapku,
*
        Aku berjalan memasuki ruang BK. Putra masih berjalan mengikutiku.
        “ini surat dari uiversitas de Marne-la-Vallée. Kamu tak perlu menunggu surat – surat kamu dari sekolah ini. Nanti kami akan lagsung mengirimkannya kesana.” Ucap Bu Dina, guru BK ku.
        Aku mengangguk mengerti dan megambil amplop putih itu. tapi, tanganku kalah cepat dengan Putra. Kini amplop itu sudah berada di tangannya.
        Ia membukanya, membaca isinya. Setelah itu ia menarik ku keluar dari ruang BK. Terus menarikku sampai kami berada di halaman belakang sekolah.
        “apa ini?” tanyanya marah. Aku mengambil amplop yang berada di tangannya.
        “kamu sudah bacakan?”
        “kenapa kamu enggak pernah bilang sebelumnya?”
        “apa aku perlu menceritakan semuanya?”
        “kamu anggap apa aku?” tanyanya, meletakkan tangannya di kedua pundakku.
        “mantan pacar.” Ucapku melepaskan dengan paksa tangan Putra dari kedua pudakku.
        “apa?”
        “sejak kalian berciuman. Kita sudah tidak ada hubungannya.”
        “kalian siapa?” tanyanya masih tidka mnegerti apa yang baru saja aku ceritakan.
        “kamu dan Zia!!” teriakku tepat di hadapannya. Putra terdiam ia menundukkan kepalanya.
        “kamu melihatnya?” tanyanya, menatapku sedih. “aku bisa menjelaskannya.” Ucapnya mencoba menarik tanganku. Tapi, aku segera menjauhinya.
        “Zia, malam itu ia menyatakan perasaannya padaku. Tapi, tentu saja aku menolaknya. Ia terus saja memaksaku untuk menjadi pacarnya. Walaupun ia tahu aku udah sama kamu. Kemudian ia menciumku.” Jelas Putra.
        “jadi sekarang kami ingin menerimanya? Terima saja. Toh kita sudah tidak bersama.” Ucapku sinis.
        Putra menggelengka kepalanya, ia memelukku, memelukku erat. “percaya padaku. Kita bisa memperbaiki ini.” Ucapnya.
        Aku melepaskan pelukannya dengan paksa. Menatapnya marah, “tidak ada yang perlu di perbaiki. Sejak saat itu kita memang sudah putus.” Ucapku.
        “tidak. Aku mohon, maafkan aku.” Ucapnya bersikeras.
        “selamat tinggal Putra!” ucapku, menatapnya sambil terseyum dan meninggalkanya.
        Aku berjalan pelan meninggalkan sekolah ini, menangisi apa yang telah terjadi. Meninggalkan kenangan 2 tahun bersama Putra di sekolah ini. Meninggalkan lukaku, senangku, marahku, dan patah hatiku.
        Sampailah aku di pintu gerbang, aku membalikkan badan. Menatap sekolah yang akan aku tinggalkan dengan menatap amplop putih yang berisi masa depanku.
        “terima kasih untuk semuanya dan selamat tinggal untuk semuanya.” Ucapku. Berjalan meninggalkan gerbang yang telah mempersilahkan ku masuk.
*