NAMA : HENDAH LAHYUNITA KUSIANDARI
KELAS : 3EB08
NPM : 23211278
Darkness
Di tengah kegelapan aku melihat dengan
mataku sendiri bahwa orang yang sekarang ini menjadi pacarku, orang yang selama
ini paling mengerti aku, sangat aku percayai. Ia sedang mencium seorang
perempuan di ruang osis.
Aku terdiam, terpaku menutup mulutku
dengan kedua tanganku. Menahan tangis yang sepertinya ingin keluar. Aku
berlari. Berlari sangat cepat, sampai aku sempat terjatuh. Aku berlari menuju
lapangan sekolah yang hanya di terangi oleh beberapa lampu yang redup.
Aku duduk, duduk terjatuh. Di tengah
lapangan. Mengeluarkan suluruh tangisku yang ku tahan. Membiarkan air mataku
jatuh membasahi rokku.
Aku tak tahu seberapa lama aku menangis
disini. sampai ada seseorang yang memegang pundakku. “kamu kenapa sayang?”
tanya Putra.
Aku segera berdiri, menghapus air
mataku. Membalikkan badan kearahnya. Menatap Putra dan Zia bergantian. Aku
berjalan menenteng tas ranselku. Berjalan menjauhi mereka.
“Nana. Nana.” Panggil Putra. Aku terus
berjalan tanpa menghiraukan panggilan Putra.
Putra berhasil menghentikan langkahku,
ia menarik tangaku.
“kamu kenapa?” tanya Putra yang entah
sejak kapan sudah ada di hadapanku. Aku terus menundukkan kepala. Tak ingin
melihatnya.
Putra menarik wajahku, membuatku
menatapnya.
“aku Cuma mau pulang.” Ucapku
“iya, aku anterin.” Ucap Putra menarikku
ke parkiran motor. Aku menurutinya, berjalan di belakangnya dengan menundukkan
kepalaku.
Aku melihat Zia yang sudah duduk di atas
motornya. Yang sepertinya sedang menunggu kami. Zia tersenyum padaku, tapi aku
tidak bisa tersenyum seperti dulu. Saat aku belum melihat kejadian tadi.
Putra menyerahkan helm padaku, aku
mengambilnya dan duduk di balik punggungnya.
*
Pagi
ini aku sangat tidak semangat mengikuti pelajaran sekolah, masih terbayang di
pikiranku kejadian yang terjadi semalam. Mengingat itu membuatku ingin menangis
rasanya.
Aku
duduk di bangku ku menyandarkan punggungku ke kursi. Melihat teman – temanku
yang berlalu lalang keluar masuk kelas. Aku memang tidak begitu akrab dengan
teman – teman satu kelas. Aku sudah terbiasa sendiri dalam kelas.
Biasanya
memang Putra yang menemaniku. Putra, sudah 2 tahun ini ia menjadi pacarku. Aku
berkenalan dengannya sewaktu kami bertemu di MOS.
“mana
Putra? Kok gw enggak liat dia?” tanya Sekar teman sebangku ku. Aku meliriknya
membetulkan letak dudukku.
Sekar
duduk di sampingku dengan membawa bungkusan roti dan menawarkannya padaku. Aku
menolaknya.
“gak
tahu.” Jawabku.
“lo
lagi marahan?” tanya Sekar. Ia memang selalu penasaran tentang segala hal.
Aku
menggeleng, beranjak dari tempat dudukku dan berjalan keluar kelas. Aku masih
bisa mendengar suara Sekar yang menyakan aku kemana. Tapi, aku menghiraukannya.
Aku
berjalan tak tahu mau kemana. Aku tidak lapar, aku juga tidak ingin ke toilet.
Aku hanya bosan duduk selama jam istirahat di dalam kelas.
Aku
terus berjalan dan tak sengaja melewati ruang osis. Aku berhenti berjalan.
terdiam di depan ruang osis. Menatap ruangan itu, kejadian semalam yang aku
liat di sana berputar kembali seperti film.
*
Aku
berjalan menuju toilet, yang melewati kelas Putra. Aku mengintip di balik pintu
kelasnya. Dan tidak melihat Putra di dalam kelasnya. Aku memetuskan untuk
melanjutkan perjalananku ke toilet. Di hadapanku. Putra dan Zia berjalan
bersama, tertawa bersama. Zia selalu saja tersenyum, tentang apapun yang di
keluarkan dari mulut Putra.
Aku
ingin menghindar, tapi untuk apa aku menghindar. Bukan aku yang salah. Mereka
yang berada di hadapanku. Yang membuat aku seperti ini.
Putra
sepertinya mengetahui keberadaanku. Ia tersenyum, dan berjalan ke arahku denga
langkah – langkah besar.
“sms
aku enggak di bales?” tanya Putra begitu ia berada tepat di hadapanku. Di
sampingnya berdiri Zia yang juga tersenyum padaku.
“pulsaku
abis.” Jawabku berbohong.
“kamu
mau kemana?” tanyanya lagi. Aku tidak mejawabnya, aku hanya menunjuk toilet
yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Zi,
lo duluan aja ke kelas.” Ucap Putra, Zia hanya tersenyum dan mengangguk.
Menepuk pundakku pelan dan berjalan meninggalkan kami berdua.
Aku
berjalan terlebih dahulu, Putra berjalan di sampingku. Aku menatapnya ragu.
“kamu
mau ke toilet?” tanyaku. Putra menggeleng. Aku masuk ke dalam toilet dan entah
apa yang dilakukan Putra di luar.
*
Hari
ini ada Try Out yang harus kami jalani, tidak terbayangkan olehku, seberat ini
menjadi Siswi kelas 3. Bulan depan, kami sudah menjalani Ujian Nasional. Itu
berarti masa – sama SMA kami akan berakhir sudah.
Teman
– temanku sibuk mencari universitas mana yang akan mereka masuki. Tapi, sampai
sekarang aku belum tahu. Universitas mana yang akan aku masuki.
“sayang”
panggil Putra, aku menengok yang ternyata Putra sudah duduk di sampingku. Aku
sendiri tidak menyadari kapan ia datang.
“ayo
kita keruang BK, aku mau lihat brosur universitas.” Ajak Putra. Aku
menggelengkan kepala menolaknya.
“kenapa?
Akhir – akhir ini kamu jadi jarang berbicara denganku.” Ucapnya.
Apakah
ia tidak pernah intropeksi diri. Mengapa sikapku berubah 180 kepadanya. Aku menatapnya kesal. Berjalan
keluar kelas meninggalkannya.
*
Minggu
ini kami di sibukkan belajar, karena hari ini, senin sampai kamis. Kami akan
menjalani Ujian Nasional bersama siswa lain di seuruh Indonesia.
Beberapa
minggu yang lalu, aku mendapat tawaran dari universitas de Marne-la-Vallée yang
berada di perancis. Ini sebuah tawaran yang sangat besar. Tentu saja aku sangat
senang, lalu aku segera mengirimkan CV ku pada mereka.
Mereka
bilang kamis ini, mereka akan memberikan surat – surat kepindahanku kasana. Tidak
ada yang mengetahui ini kecuali orang tuaku.
Putra
aku belum memberitahunya. Dan aku tidak akan pernah memberitahunya. Menurutku
aku dan Putra sudah putus di malam itu. tapi, aku tidak pernah mengatakannya.
Aku hanya ingin ia, menyadari sendiri.
*
Senang,
lega bercampur menjadi satu. Hari ini adalah hari terakhir kami Ujian Nasional.
Semua bersorak dengan senangnya, tak terkecuali aku. Bereplukan dengan teman
sekelasku. Berfoto bersama. Mungkin ini adalah terkahir kalinya aku bertemu
dengan mereka.
Tentunya
aku harus mendapatkan foto mereka sebanyak mungkin.
“wah,
hasil jepretan yang bagus.” Ucap Putra yang entah sejak kapan sudah berada di
sampingku. Aku menatapnya kaget.
Ia
menrangkulku sambil megambil alih kameraku yang sekarang berada di tanganya.
Aku terus saja menatapnya. Kalau aku sudah mengatakan semuanya. Mungkin aku
tidka bisa melihatnya sedekat ini.
Untuk
hari ini, haruskah aku bersikap baik terhadapnya. Dan mengucapkan selamat
tinggal?
“ada
apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanyanya. Tapi, matanya tetap pada
kamera yang di pegangya.
Aku
merebut kamera itu. “sekar.” Panggilku. Sekar menengok, aku memberika kamera
itu padanya.
“fotoin
kami.” Ucapku pada Sekar. Sekar mengangguk. Kami pun berpose. Putra masih
merangkul dan tak lupa aku tersenyum.
Sekar
mengembalikkan kamera padaku. “thanks” ucapku. Dan melihat hasil foto bersama Putra.
Aku tersenyum melihat hasilnya.
“foto
terakhir kita.” Ucapku. Mematikan kameraku dan memasukkannya kedalam tas.
“kenapa
terakhir?” tanya Putra, aku hanya menatapnya dan tak mejawab pertanyaannya.
“Nana,
lo di panggil guru BK.” Ucap Nando ketua kelas, kelasku. Aku menjinjing tasku
di pundak dan berjalan keluar kelas.
“hey,
jawab pertanyaan aku. Kenapa terkahir?” tanya Putra yang berajalan di
sampingku.
“kamu
akan tahu.” Ucapku,
*
Aku
berjalan memasuki ruang BK. Putra masih berjalan mengikutiku.
“ini
surat dari uiversitas de Marne-la-Vallée. Kamu tak perlu menunggu surat – surat
kamu dari sekolah ini. Nanti kami akan lagsung mengirimkannya kesana.” Ucap Bu
Dina, guru BK ku.
Aku
mengangguk mengerti dan megambil amplop putih itu. tapi, tanganku kalah cepat
dengan Putra. Kini amplop itu sudah berada di tangannya.
Ia
membukanya, membaca isinya. Setelah itu ia menarik ku keluar dari ruang BK. Terus
menarikku sampai kami berada di halaman belakang sekolah.
“apa
ini?” tanyanya marah. Aku mengambil amplop yang berada di tangannya.
“kamu
sudah bacakan?”
“kenapa
kamu enggak pernah bilang sebelumnya?”
“apa
aku perlu menceritakan semuanya?”
“kamu
anggap apa aku?” tanyanya, meletakkan tangannya di kedua pundakku.
“mantan
pacar.” Ucapku melepaskan dengan paksa tangan Putra dari kedua pudakku.
“apa?”
“sejak
kalian berciuman. Kita sudah tidak ada hubungannya.”
“kalian
siapa?” tanyanya masih tidka mnegerti apa yang baru saja aku ceritakan.
“kamu
dan Zia!!” teriakku tepat di hadapannya. Putra terdiam ia menundukkan
kepalanya.
“kamu
melihatnya?” tanyanya, menatapku sedih. “aku bisa menjelaskannya.” Ucapnya
mencoba menarik tanganku. Tapi, aku segera menjauhinya.
“Zia,
malam itu ia menyatakan perasaannya padaku. Tapi, tentu saja aku menolaknya. Ia
terus saja memaksaku untuk menjadi pacarnya. Walaupun ia tahu aku udah sama
kamu. Kemudian ia menciumku.” Jelas Putra.
“jadi
sekarang kami ingin menerimanya? Terima saja. Toh kita sudah tidak bersama.”
Ucapku sinis.
Putra
menggelengka kepalanya, ia memelukku, memelukku erat. “percaya padaku. Kita
bisa memperbaiki ini.” Ucapnya.
Aku
melepaskan pelukannya dengan paksa. Menatapnya marah, “tidak ada yang perlu di
perbaiki. Sejak saat itu kita memang sudah putus.” Ucapku.
“tidak.
Aku mohon, maafkan aku.” Ucapnya bersikeras.
“selamat
tinggal Putra!” ucapku, menatapnya sambil terseyum dan meninggalkanya.
Aku
berjalan pelan meninggalkan sekolah ini, menangisi apa yang telah terjadi.
Meninggalkan kenangan 2 tahun bersama Putra di sekolah ini. Meninggalkan
lukaku, senangku, marahku, dan patah hatiku.
Sampailah
aku di pintu gerbang, aku membalikkan badan. Menatap sekolah yang akan aku
tinggalkan dengan menatap amplop putih yang berisi masa depanku.
“terima
kasih untuk semuanya dan selamat tinggal untuk semuanya.” Ucapku. Berjalan
meninggalkan gerbang yang telah mempersilahkan ku masuk.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar