Kamis, 02 Mei 2013

sertifikat


sertifikat


POSTING 15 JURNAL KE 2


Nama                   : Hendah Lahyunita K
Kelas          : 2EB08
NPM           : 23211278

POSTING 15 : JURNAL ANTI MONOPOLI

UPAYA KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI HAMADHANI
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 5
PENUTUP

5.1. KESIMPULAN
Setelah dilakukan penjelasan mengenai teori-teori serta posisi kasus upaya keberatan atas putusan KPPU dan pemeriksaan tambahan, adapun kesimpulan serta saran dari penelitian ini adalah :
1.      Upaya keberatan atas putusan KPPU adalah Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh KPPU. Upaya keberatan ini diatur dalam pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan diperkuat kembali dengan pengaturan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005, serta dalam pasal 65 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010. Upaya keberatan diajukan oleh pelaku usaha yang tidak puas terhadap putusan yang dijatuhkan oleh KPPU ke pengadilan negeri ditempat kedudukan hukum pelaku usaha tersebut. Pengajuan upaya ini dapat dilakukan dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pelaku usaha menerima petikan putusan dari KPPU. Pengadilan Negeri berkewajiban untuk segera menunjuk majelis hakim yang memiliki pengetahuan cukup untuk memeriksa keberatan ini. Dalam upaya keberatan atas putusan KPPU, tidak dilakukan mediasi sebagaimana yang diatur dalam Perma Agung Nomor 1 tahun 2008 dan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg. Pemeriksaan yang dilakukan dalam tahap ini hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara pada pemeriksaan tahap sidang KPPU. Majelis hakim mempunyai waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
2.      Pemeriksaan tambahan dilakukan demi jelasnya permasalahan dan hal tersebut dipandang perlu oleh majelis hakim setelah mempelajari putusan dan berkas perkara dari KPPU. Majelis hakim dapat memerintahkan termohon keberatan (KPPU) untuk melakukan pemeriksaan tambahan melalui putusan sela.
3.      Penerapan hukum terhadap upaya keberatan atas putusan KPPU yang diajukan oleh kedua puluh pelaku usaha industri minyak goreng dalam putusan nomor 03/KPPU/2010/PN.JKT.PST sudah sesuai dengan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.
4.       
5.2. SARAN
Berdasarkan uraian bab-bab yang telah dikemukakan sebelumnya, analisa yang telah dilakukan oleh penulis dan kesimpulan tersebut diatas, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah Saran yang dapat diberikan adalah:
1.      Hendaknya dilakukan perubahan terhadap Perma Nomor 3 Tahun 2005 pada pasal 6 yang mengatur mengenai pemeriksaan tambahan yang menyatakan bahwa dalam hal Majelis Hakim memandang perlu untuk dilakukan pemeriksaan tambahan, maka pemeriksaan tambahan tersebut dilakukan oleh KPPU. KPPU dalam perma 3 Tahun 2005 telah ditentukan sebagai salah satu pihak dalam keberatan ini, sehingga KPPU kini memiliki kepentingan dan diragukan kenetralannya sebagai pelaku pemeriksa tambahan. Pemeriksaan tambahan tentunya akan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila dilakukan oleh pihak yang netral.

2.      Kiranya perlu KPPU menerapkan asas diferensial fungsional atau posisi fungsi yang berbeda dalam melaksanakan fungsinya dengan berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain sehingga tercapai suatu due process of law dan terjamin berjalannya proses check and balance
.
3.      Pengadilan Negeri kiranya perlu untuk membentuk suatu badan yang membantu Pengadilan Negeri dalam melakukan pemeriksaan tambahan sehingga didapatkan hasil pemeriksaan yang tidak diragukan kenetralannya dan juga merigankan kewajiban Majelis Hakim dalam melaksanakan pemeriksaan dalam upaya keberatan.

4.      Pelaku usaha apabila berkeberatan terhadap putusan KPPU hendaknya tetap menerima petikan putusan tersebut karena dalam hal pelaku usaha menolak menerima petikan putusan KPPU berikut salinan putusan atau pelaku usaha tidak lagi diketahui alamatnya, KPPU akan membuat berita laporan bahwa pelaku usaha telah dianggap menerima pemberitahuan petikan putusan tersebut terhitung sejak salinan putusan tersebut tersedia di website KPPU.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman A. Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta:Pradnya
Paramita, 1991)
Ali, H.Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika 2009.
Bahar, Wahyuni. “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 – Refleksi dan Rekomendasi” Dalam
Litigasi Persaingan Usaha. Tangerang: PT. Telaga Ilmu Indonesia, 2010.
Broder, Douglas. US. Antitrust Law Enforcement a Practice Introduction. New York: Oxford
University Press, 2010.
Harahap, M.Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet.7. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Ibrahim, Johny. Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori, dan Implikasinya di Indonesia.
Malang: Bayu Media Publishing, 2007.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Cet.7. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2000.
Knud Hansen.Et al. Law Concerning Prohibition of Monopolistic Praktice and Unfair Business
Competition (Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). Jakarta: Penerbit Katalis, 2003.
Lubis, Andi Fahmi. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks Dan Konteks. Jakarta:
Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, 2009.
Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Nadapdap, Binoto., Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: Jala Permata Aksara,2009.
Nugroho, Susanti Adi. “Acara Pemeriksaan Perkara Persaingan Usaha”. Dalam Litigasi
Persaingan Usaha. Tangerang: PT. Telaga Ilmu Indonesia, 2010.
Prints, Darwan. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet.11 Bandung: Sumur Bandung,
1982.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Cet.2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penulisan Hukum, cet 3, Jakarta: Universitas Indonesia (UI
Press) 1986.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Ed.1.
Cet.10. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan Didalam
Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Perdata Dalam Teori dan Praktek.
Bandung: Mandar Maju 2005.
Wibowo, Desvianto dan Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.

Artikel

Anisah, Siti. “Persaingan Seputar Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU.”
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24. 2005.
Anggara, Stefino. “ Usaha dan Peradilan Khusus (Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman).” Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 1, 2009.
Gisymar, Najib A. “Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Catatan Peluang Masalah Terhadap
Penegakan Hukum UU.5 Tahun 1999).” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19. 2002.
Sukendar. “Kedudukan Lembaga Khusus (Auxiliary State’s Organ) Dalam Konfigurasi
Ketatanegaraan Modern Indonesia (Studi Mengenai Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia)”, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 1. 2009.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Laskoro, Satrio, “Inderect Evidence Didalam Pembuktian Perkara Persaingan Usaha “Skripsi
Sarjana Universitas Indonesia. Depok, 2011.

Makalah
Assidiqie, Jimmly.”Fungsi Quasi Peradilan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU).”Makalah disampaikan pada Seminar Penegakan Hukum Persaingan Usaha
Perihal Tender. Jakarta, 17 Maret 2011.
Rajagukguk, Erman. “Penerapan Hukum Asing Harus Melalui Undang-Undang: Tinjauan
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)”. Makalah disampaikan pada Seminar Penegakan Hukum Persaingan Usaha Perihal Tender. Jakarta, 17 Maret 2011.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun
1008, L.N No. 58, TLN. No. 4843.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, L.N No.
157, TLN No. 5076.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817.
Indonesia. Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Kepres No. 54
Tahun 2005. Lembaran Lepas 2005.
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Perma No. 3 Tahun 2005.



POSTING 14 JURNAL KE 2


Nama          : Hendah Lahyunita K
Kelas          : 2EB08
NPM           : 23211278

POSTING 14 : JURNAL ANTI MONOPOLI

UPAYA KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI HAMADHANI
UNIVERSITAS INDONESIA

4.4 Upaya Hukum Keberatan Atas Putusan KPPU.
Dari Putusan KPPU, selanjutnya Para pihak yang dihukum tersebut tidak puas dengan putusan KPPU dan mengajukan permohonan Upaya Hukum Keberatan kepada Pengadilan Negeri. Mengenai pengajuan upaya hukum keberatan kepada pengadilan negeri diatur didalam Perma No. 3 Tahun 2005. Adapun yang menjadi objek dari keberatan para pemohon keberatan atas putusan KPPU dapat disimpulkan kedalam pokok-pokok materi keberatan terhadap
putusan KPPU yang meliputi :
1.      Aspek Formil
a.                  KPPU telah salah menentukan pasar bersangkutan (relevant market) dalam perkara a quo.
b.                  KPPU tidak memperbolehkan para pemohon keberatan untuk memeriksa seluruh dokumen pada saat inzage
c.                   KPPU melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
d.                  KPPU melebihi kewenangannya dalam hal memutus kerugian bagi konsumen.
2.      Aspek Materiil
a.                   Tentang Pembuktian:
i.                    KPPU menggunakan indirect evidence (bukti tak langsung) yang merupakan standar hukum asing dimana hal tersebut tidak dikenal dalam hukum Indonesia
ii.                  Penggunaan dan penghitungan CR4 dan Hhi oleh KPPU tidak tepat
b.               Tidak terjadi pelanggaran dalam pengaturan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
c.                   Tidak terjadi pelanggaran dalam pengaturan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
d.               Tidak terjadi pelanggaran dalam pengaturan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

4.5 Para Pihak Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
03/KPPU/2010/PN.JKT.PST
Pihak Pemohon antara lain PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nubika Jaya, PT Smart, Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, PT Bina Karya Prima, PT Tunas Baru Lampung, Tbk, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pacific Palmindo Industri, PT Asian Agro Agung Jaya. Sedangkan pihak termohon adalah KPPU, dan PT Nagamas Palmoil merupakan turut termohon.

4.6 Putusan Sela
Dalam pemeriksaan perkara ini majelis hakim berpendapat bahwa perlu untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.
1.      Memerintahkan kepada termohon untuk melakukan pemeriksaan tambahan mengenai hal-hal berikut:
a.                Melakukan pemeriksaan saksi, yakni Sdr. Sahat Sinaga dan Kementrian Perdagangan mengenai hal-hal yang terjadi di dalam pertemuan GIMNI tanggal 29 Februari 2008 dan operasi pasar minyak goreng murah Pemerintah bersama GIMNI.
b.               Meminta keterangan saksi, yaitu Kementrian Perdagangan mengenai hal-hal yang terjadi dalam pertemuan tanggal 9 Februari 2009 dan keterkaitan dengan Program MINYAKITA yang dilakukan oleh pemerintah.
c.                Meminta keterangan ahli Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D selaku ahli dibidang hukum persaingan usaha untuk memberikan pendapat mengenai penerapan indirect evidence yang dipergunakan termohon dalam memutus perkara tersebut dikaitkan dengan alat-alat bukti hukum persaingan usaha sebagaimana yang diatur dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
d.               Meminta keterangan ahli Dr. Ir. Anton Hendranata, M.Si, selaku ahli analisis data statistika dan model ekonometrika mengenai penggunaan CR4, HI-II, dan uji homogenity of varians yang dilakukan oleh termohon, apakah telah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu statistik dan ekonometrika
1.      Menetapkan agar pemeriksaan tambahan tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan sela ini diucapkan.
2.      Memerintahkan untuk mengembalikan berkas kepada termohon Keberatan.
3.      Menangguhkan pemeriksaan permohonan keberatan para Pemohon Keberatan I sampai dengan Pemohon Keberatan XX sampai dengan selesainya pemeriksaan tambahan oleh termohon keberatan.
4.      Menangguhkan putusan mengenai biaya perkara hingga putusan akhir.

4.7 Pemeriksaan Tambahan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pemeriksaan pada tahap Upaya Keberatan atas Putusan KPPU disini majelis hakim memandang perlu untuk dilakukannya pemeriksaan tambahan. Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan sela yang berisikan perintah kepada KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang meliputi :
1.      Pemeriksaan saksi Sahat Sinaga dan Kementrian Perdagangan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tambahan tersebut majelis hakim memperoleh fakta bahwa dalam pertemuan tanggal 9 Februari 2009 sama sekali tidak membahas mengenai minyak goreng curah. Pada amar putusan KPPU yang dinyatakan melanggar pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam perdagangan minyak goreng curah tidaklah sama dengan Pelaku Usaha yang hadir dalam pertemuan anggota GIMNI tanggal 9 Februari 2009.

2.      Meminta keterangan saksi dari Kementrian Perdagangan
Berdasarkan pemeriksaan terhadap Jimmy Bella yang merupakan Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri mengenai hal-hal yang terjadi dalam pertemuan 29 Februari 2008 diperoleh hasil yang menyatakan bahwa saksi tidak menghadiri acara tersebut dan tidak mengetahui siapa saja yang hadir dalam acara tersebut.

3.      Pemeriksaan ahli Prof. Erman Rajagukguk, S.H, LL.M., Ph.D.
Berdasarkan keterangan ahli Prof. Erman Rajagukguk, S.H, LL.M., Ph.D. dinyatakan bahwa yang tergolong indirect evidence adalah alat bukti tidak langsung atau disebut circumstansial evidence (tidak langsung, sambil lalu), yang meliputi:
a.       Catatan tentang banyaknya percakapan telepon antara para pesaing. Catatan tersebut bukan mengenai substansi percakapan, tetapi beberapa kali melakukan percakapan telepon tersebut.
b.      Perjalanan menuju tujuan yang sama, misalnya untuk menghadiri konfrensi perdagangan.
c.       Partisipasi dalam pertemuan.
d.      Hasil atau catatan dari pertemuan yang memperlihatkan harga, permintaan atau kapasitas yang dibicarakan antara para pesaing.
e.       Bukti-bukti dokumen internal yang membuktikan pengetahuan atau saling pengertian antara para pesaing dalam mengatur strategi harga. Penafsiran atau interpretasi.
f.       Logika.
g.      Bukti ekonomi, seperti:
h.      Perilaku di pasar dan industry
ii.      Harga yang paralel (paralel pricing)
iii.    “Facilitating practice” dimana para pesaing mudah mencapai kesepakatan
iv.     Bukti struktural tentang adanya hambatan yang tinggi untuk masuk ke pasar, standard integrasi vertikal yang tinggi atau produksi yang homogen.]
Ahli berpendapat bahwa Indirect Evidence tidak dikenal dalam hukum pembuktian persaingan usaha yang diatur di Indonesia. Alat bukti yang sah diatur dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Terhadap pandangan ahli ini termohon (KPPU) berpendapat bahwa, ahli bukanlah ahli didalam hukum persaingan usaha.
Namun terhadap pandangan termohon dalam hal ini majelis hakim berpendapat bahwa Hukum Persaingan Usaha adalah hukum publik yang prosedur penegakannya bersifat imperatif, dalam artian tidak dapat disimpangi dengan penafsiran dari sudut pandang tertentu, melainkan melalui kaidah-kaidah hukum positif yang telah jelas disebut dalam undang-undang yang bersangkutan. Sedangkan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah didahului dengan kata-kata “terbukti secara sah dan meyakinkan”, hal tersebut berarti termohon harus menggunakan alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan di sisi lain dilakukan dengan cara-cara yang telah tegas disebutkan dalam undang-undang.

4.      Pemeriksaan ahli Dr. Ir. Anton Hendranata, M.Si.
Dalam pemeriksaan tambahan yang dilakukan kepada ahli dibidang statistika dan ekonometrika Dr. Ir. Anton Hendranata, M.Si diperoleh hasil bahwa secara statistika dan ekonometrika, yang dilakukan KPPU tidaklah tepat, dan apabila dilihat dari sisi data tidak konsisten. Dalam CR4 menggunakan data kelompok perusahaan, sedangkan uji kehomogenan varians menggunakan data individual.

4.8 Putusan Pengadilan Negeri
Majelis hakim memandang bahwa indirect evidence tidak dikenal dalam hukum persaingan usaha Indonesia tanpa didukung alat bukti yang lainnya yang sah (direct evidence) sebagaimana yang telah diterapkan di Eropa sehingga menyebabkan kekeliruan yang mengakibatkan putusan termohon (KPPU) menjadi kurang pertimbangan dan melanggar prinsip due process of law. Disamping itu Majelis Hakim bahwa berpendapat bahwa termohon tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya pelanggaran terhadap pasal 4, 5, 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehingga putusan yang telah dijatuhkan oleh termohon tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan.

4.9 Analisa Upaya Keberatan Pada Putusan Pengadilan Negeri No.
03/KPPU/2010/PN.JKT.PST.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab Pendahuluan, maka penulis akan melakukan analisa terhadap Upaya Keberatan pada putusan Pengadilan Negeri Nomor 03/KPPU/2010/PN.JKT.PST, tanggal 4 Mei 2009.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 03/KPPU/2010/PN.JKT.PST terdapat 20 pemohon keberatan yang sebelumnya telah dijelaskan.
Pengajuan permohonan Upaya keberatan dalam hal ini telah sesuai dengan pengaturan pasal 2 ayat 1 Perma Nomor 3 Tahun 2005 karena permohonan tersebut diajukan pada wilayah hukum pelaku usaha masing-masing.
Terhadap pengajuan permohonan keberatan yang diajukan pada berbagai Pengadilan Negeri yang berbeda-beda, Mahkamah Agung menggunakan kewenangannya menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan oleh para pemohon keberatan. Penetapan tersebut diberikan oleh Mahkamah Agung melalui Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI tanggal 13 Agustus 2010 Nomor 05/Pen/Pdt/2010.
KPPU membacakan putusan dengan nomor 24/KPPU-I/2009 dalam persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2010, namun petikan putusan KPPU tersebut telah diterima oleh Pemohon Keberatan yang sebelumnya para pelaku usaha terlapor pada tanggal yang berbeda sehingga para Pemohon Keberatan dalam perkara ini juga mempunyai batas akhir pengajuan Upaya Hukum Keberatan pada tanggal yang berbeda.
Pelaku Usaha terlapor dalam mengajukan upaya ini memiliki batasan waktu 14 hari sejak petikan putusan tersebut diterima oleh pelaku usaha terlapor. Dalam pasal 65 Peraturan KPPU nomor 1 tahun 2010 dinyatakan bahwa “Terlapor dapat mengajukan keberatan terhadap putusan Komisi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya Petikan Putusan komisi berikut Salinan Putusan Komisi” dan juga pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 44 ayat 2 yang menyatakan “Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut”.
Pemohon Keberatan I, II, III, IV,V, XII, XIII, dan XVIII telah menerima petikan putusan KPPU pada tanggal 9 Juni 2010, Pemohon Keberatan VI,VII,VIII, IX, X, XI pada tanggal 10 Juni 2010, Pemohon Keberatan XVI, XVII, XIX pada tanggal 8 Juni 2010, dan Pemohon Keberatan XIV, XV, XX pada tanggal 15 Juni 2010. Dengan demikian ke 20 Pemohon Keberatan tersebut mempunyai batas akhir tanggal pengajuan upaya keberatan yang berbeda karena petikan putusan dari KPPU diterima pada hari yang berbeda satu sama lain.
Dengan demikian, permohonan keberatan atas putusan KPPU yang diajukan oleh para pelaku usaha dalam kasus ini dapat diterima karena telah sesuai dengan pasal 65 Peraturan KPPU Nomor 1 tahun 2010, pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, dan pasal 4 ayat 1 Perma Nomor 3 Tahun 2005 yang semua pengaturan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan atas putusan KPPU diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah petikan putusan dari KPPU tersebut telah diterima oleh pelaku usaha.
Jangka waktu pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam pengaturan Perma 3 Tahun 2005 ditentukan selama 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan. KPPU telah menyerahkan berkas kepada Pengadilan Negeri pada tanggal 9 Desember 2010. Sedangkan
pada tanggal 15 Desember 2010 Majelis Hakim menjatuhkan putusan sela yang memerintahkan KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam waktu 30 hari, sehingga sisa waktu pemeriksaan keberatan ditangguhkan. Setelah KPPU melaporkan hasil pemeriksaan tambahannya pada tanggal 26 Januari 2011, pemeriksaan keberatan dilanjutkan sampai pada tanggal 23 Februari 2011 Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan.

4.10 Analisa Pemeriksaan Tambahan Pada Putusan Pengadilan Negeri
Nomor 03/KPPU/2010/PN.JKT.PST.
Dalam pengaturan pasal 6 ayat 1 Perma 3 Tahun 2005 menyatakan sebagai berikut “Dalam hal Majelis Hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela memerintahkan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan”, dan dikaitkan dengan pasal 6 ayat 2 Perma 3 Tahun 2005 yang menyatakan “Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 memuat hal-hal yang harus diperiksa dengan alasan-alasan yang jelas dan jangka waktu pemeriksaan tambahan yang diperlukan. KPPU dalam Perma 3 Tahun 2005 ditentukan sebagai salah satu pihak dalam upaya keberatan ini. Walaupun demikian, Perma 3 Tahun 2005 tetap menunjuk KPPU sebagai pihak yang melakukan pemeriksaan tambahan. Posisi KPPU yang kini bukan lagi sebagai pemutus perkara sangatlah diragukan untuk melakukan pemeriksaan tambahan karena KPPU disini pastinya mempunyai kepentingan agar putusan yang telah dijatuhkan dapat dikuatkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri. Namun Perma 3 Tahun 2005 pun tidak memberikan ruang kepada pihak Majelis Hakim untuk melakukan pemeriksaan tambahan sendiri atau hanya sekedar melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemeriksaan tambahan.
Dalam perkara nomor 03/KPPU/2010/PN.JKT.PST, majelis hakim memandang perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali dan menjatuhkan putusan sela yang memerintahkan KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang pemeriksaan tersebut meliputi :
a.       Melakukan pemeriksaan saksi, yakni Sdr. Sahat Sinaga mengenai hal-hal yang terjadi di dalam pertemuan GIMNI tanggal 29 Februari 2008 dan operasi pasar minyak goreng murah Pemerintah bersama GIMNI.
b.      Meminta keterangan saksi, yaitu Kementrian Perdagangan mengenai hal-hal yang terjadi dalam pertemuan tanggal 9 Februari 2009 dan keterkaitan dengan Program MINYAKITA yang dilakukan oleh pemerintah.
c.       Meminta keterangan ahli Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D selaku ahli dibidang hukum persaingan usaha untuk memberikan pendapat mengenai penerapan indirect evidence yang dipergunakan termohon dalam memutus perkara tersebut dikaitkan dengan alat-alat bukti hukum persaingan usaha.
d.      Meminta keterangan ahli Dr. Ir. Anton Hendranata, M.Si, selaku ahli analisis data statistika dan model ekonometrika mengenai penggunaan CR4, HI-II, dan uji homogenity of varians yang dilakukan oleh termohon, apakah telah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu statistik dan ekonometrika
Didalam putusan sela tersebut Majelis Hakim memberikan waktu kepada KPPU untuk menyelesaikan pemeriksaan tersebut selama 30 hari kerja. Pemeriksaan tambahan yang diperintahkan oleh Majelis Hakim melalui putusan sela dalam hal ini telah sesuai dengan pengaturan pasal 6 Perma Nomor 3 Tahun 2005 karena dalam memberikan perintah kepada KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan, Majelis hakim berpendapat bahwa pemeriksaan tersebut memang diperlukan.


POSTING 13 JURNAL KE 2

Nama          : Hendah Lahyunita K
Kelas          : 2EB08
NPM           : 23211278

POSTING 13 : JURNAL ANTI MONOPOLI

UPAYA KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI HAMADHANI
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 4
ANALISA HUKUM MENGENAI UPAYA HUKUM KEBERATAN SERTA
PEMERIKSAAN TAMBAHAN DALAM KASUS KARTEL MINYAK
GORENG

4.1. Latar Belakang Kasus
Sekretariat KPPU menemukan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai oligopoli, penetapan harga, serta kartel dibidang industri Minyak Goreng. Segera KPPU melakukan monitoring terhadap pelaku usaha, dan berdasarkan hasil rapat komisi tanggal 15 Septembet 2009, hasil monitoring tersebut diputuskan perlu ditindak lanjuti ke tahap pemeriksaan pendahuluan.
Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari para Terlapor dan para Saksi serta instansi pemerintah Dalam proses Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan. Setelah Majelis Komisi mempelajari Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan kemudian melakukan penilaian bahwa industri minyak goreng merupakan industri yang memiliki nilai strategis karena berfungsi sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Disamping Minyak Goreng, kelapa sawit mempunyai banyak produk turunan serta perkembangan industri-industri yang terkait dengan kelapa sawit. Namun demikian, struktur pasar industri minyak goreng yang oligopoli telah mendorong perilaku beberapa pelaku usaha produsen minyak goreng untuk menentukan harga sehingga pergerakan harganya tidak responsif dengan pergerakan harga CPO padahal CPO merupakan bahan baku utama dari minyak goreng.
Indonesia dikatakan sebagai negara CPO terbesar di dunia karena budi daya kelapa sawit di Indonesia didukung dengan karakteristik geografis Indonesia sehingga industri agribisnis ini dapat berkembang dengan sangat baik.
Hubungan terkait yang erat antara industri kelapa sawit dengan minyak goreng menjadi latar belakang kedua industri tersebut cenderung terintegrasi guna mencapai efisiensi dan efektifitas terutama dalam hal kepastian/keamanan pasokan bahan bakunya. Dari sisi peraturan atau regulasi, pemerintah juga memberikan peluang terciptanya industri terintegrasi dari hulu (perkebunan kelapa sawit) hingga hilir (produksi minyak goreng).6
Sistem pemasaran minyak goreng ini dapat dilihat dari jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai distributor untuk melakukan distribusi ke seluruh wilayah pemasarannya termasuk namun tidak terbatas ke seluruh retail modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama sekali tidak memiliki afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan diperoleh informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng kemasan (bermerek) hanya sampai distributornya saja dimana distributor mendapatkan marketing fee berkisar 5%. Sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goring curah, sebagian besar produsen tidak menunjuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung.
Kebijakan pemerintah terkait dengan perdagangan minyak goreng di Indonesia dilakukan dengan membuat program bernama ”MINYAKITA” dilakukan melalui regulasi pemerintah (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor. 02/M-DAG/PER/1/2009 tentang Minyak Goreng Kemasan Sederhana). Program MINYAKITA ini dibuat oleh pemerintah dengan tujuan menstabilkan harga minyak goreng dan untuk meningkatkan kualitas konsumsi minyak goring masyarakat dimana secara faktual sebagian besar yaitu sekitar 80% masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi minyak goreng curah. Produk MINYAKITA dibuat sebagai realisasi kerja sama antara pemerintah dengan produsen minyak goreng guna menyediakan kebutuhan minyak goreng yang lebih higienis dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, MINYAKITA diproduksi oleh produsen dengan kualitas yang lebih tinggi dari minyak goreng curah namun masih di bawah standar kualitas minyak goreng kemasan (bermerek). Selanjutnya dalam melakukan penjualan MINYAKITA, ditetapkan 2 (dua) mekanisme penjualan yaitu:
1)      Penjualan langsung melalui program Kepedulian Sosial Perusahaan (KSP), dimana mekanisme penjualan dilakukan oleh produsen identik dengan operasi pasar.
2)      Penjualan secara komersial, dimana mekanisme penjualannya dilakukan melalui distributor atau pengecer besar. Lokasi penjualan harus sesuai dengan rencana wilayah pemasaran yang telah dilaporkan kepada pemerintah. 
Terkait dengan harga, pemerintah mengharapkan agar harga jual MINYAKITA di tingkat konsumen diharapkan sebesar Rp. 8.500,00 (delapan ribu lima ratus rupiah) per liter.

4.2. Para Pihak Dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009
Adapun terlapor dalam Perkara No. 24/KPPU-I/2009 meliputi 21 pelaku usaha yang bergerak dibidang industri minyak goreng. Ke 21 pelaku usaha tersebut adalah: PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Nubika Jaya, PT Smart, Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, PT Bina Karya Prima, PT Tunas Baru Lampung, Tbk, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pacific Palmindo Industri, PT Asian Agro Agung Jaya. Ke-21 Terlapor ini terlibat dalam dugaan pelanggaran pasal 4, pasal 5, pasal11 Undang-undang No. 5 Tahun 1999.

4.3. Putusan KPPU
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan sidang di KPPU, majelis komisi menjatuhkan putusan yang menyatakan PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Smart, Tbk, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, dan PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UNDANG-UNDANG Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah.
Disamping itu PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi,: PT Agrindo Indah Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, VIII: PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nubika Jaya, PT Smart, Tbk, PT Tunas Baru Lampung, Tbk, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pacific Palmindo Industri dan PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai penetapan harga untuk pasar minyak goreng curah. Selain itu juga, Majelis Komisi menyatakan PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Smart, Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, dan PT Bina Karya Prima, XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek). Untuk pasar minyak goreng curah, PT Nagamas Palmoil Lestari tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Majelis Komisi menyatakan juga bahwa, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Smart, Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, dan PT Bina Karya Prima, PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai kartel untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek).
Terhadap hal tersebut hukuman dijatuhkan kepada masing-masing adalah: kepada PT Multimas Nabati Asahan untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)226, PT Sinar Alam Permai untuk membayar denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah), PT Wilmar Nabati Indonesia untuk membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), PT Multi Nabati Sulawesi untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), PT Agrindo Indah Persada untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), PT Musim Mas untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), PT Intibenua Perkasatama untuk membayar denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), PT Megasurya Mas untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), PT Agro Makmur Raya untuk membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), PT Mikie Oleo Nabati Industri untuk membayar denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah), PT Indo Karya Internusa untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), PT Permata Hijau Sawit untuk membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), PT Nubika Jaya untuk membayar denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), PT Smart, Tbk untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), PT Salim Ivomas Pratama untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), PT Bina Karya Prima untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). PT Tunas Baru Lampung, Tbk untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), PT Berlian Eka Sakti Tangguh untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), PT Pacific Palmindo Industri untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), PT Asian Agro Agung Jaya untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).