Kamis, 02 Mei 2013

POSTING 12 JURNAL KE 2


Nama                   : Hendah Lahyunita K
Kelas          : 2EB08
NPM           : 23211278

POSTING 12 : JURNAL ANTI MONOPOLI

UPAYA KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI HAMADHANI
UNIVERSITAS INDONESIA
3.3. Obyek Keberatan
Berdasarkan pengaturan pasal 5 ayat 4 Perma Nomor 3 Tahun 2005 diatur bahwa “Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara sebagaimana diatur dalam ayat (2).” Putusan dan berkas yang dimaksud dalam pengaturan pasal ini adalah putusan majelis Komisi dan berkas perkara dalam persidangan di KPPU. Pengadilan Negeri dapat memerintahkan KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan melalui putusan sela apabila dipandang perlu untuk dilakukan penelaahan lebih lanjut mengenai putusan KPPU. Namun apabila Pengadilan Negeri memandang perlu untuk diajukannya bukti baru yang sebelumnya belum pernah diajukan pelaku usaha terlapor dan belum pernah diperiksa dalam pemeriksaan lanjutan, maka seharusnya pemeriksaan bukti-bukti seperti ini diperbolehkan, karena esensi dari diadakannya pemeriksaan tambahan adalah mendapatkan kejelasan mengenai duduk perkara.

3.4. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan adalah forum bagi pelaku usaha untuk menguatkan argumentasinya bahwa sebenarnya tidak melakukan pelanggaran terhadap apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pemeriksaan tambahan tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Pengaturannya dapat kita temui dalam Bab IV Perma Nomor 3 Tahun 2005. Majelis hakim dalam pemeriksaan upaya keberatan dalam hal ini yang mempunyai wewenang untuk menilai diperlukan atau tidaknya dilakukan pemeriksaan tambahan. Apabila majelis hakim memandang perlu untuk dilakukan pemeriksaan tambahan maka, majelis hakim melalui putusan sela memerintahkan kepada KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan, serta hal-hal apa saja yang harus kembali diperiksa oleh KPPU.
Pemeriksaan tambahan hanya meliputi bukti-bukti yang ada dalam berkas perkara dalam putusan yang telah diputus oleh majelis komisi pada tahap pemeriksaan di KPPU. Namun apabila majelis hakim merasa kurang jelas dan memandang perlu untuk dilakukannya pemeriksaan tambahan maka dalam hal ini KPPU berkewajiban untuk melakukannya dengan menyebutkan hal-hal yang menjadi tugasnya dalam memeriksa kembali.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh KPPU disini akan terlihat janggal karena dalam Upaya keberatan atas putusan KPPU sebagaimana yang ditentukan oleh Perma 3 Tahun 2005, KPPU adalah sebagai pihak dan dimana dalam persidangan di tahap pertama, KPPU adalah sebagai komisi yang menjatuhkan putusan kepada pelaku usaha. Tentunya disini keindependensian KPPU sangatlah diragukan mengingat KPPU kini dapat dikatakan sebagai pihak yang memiliki kepentingan pada tahap upaya keberatan. Namun Perma Nomor 3 tahun 2005 menunjuk KPPU sebagai yang melakukan pemeriksaan tambahan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Perma ini.

3.4.1. Syarat Dilakukan Pemeriksaan Tambahan.
Apabila pelaku usaha ingin menguatkan argumentasinya bahwa tidak melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dan berkeinginan agar forum pemeriksaan tambahan dilaksanakan, maka pemohon keberatan harus jelas menyampaikan permohonannya untuk dilakukan pemeriksaan tambahan kepada Pengadilan Negeri dan hal apa saja yang dimohonkan untuk dilakukan pemeriksaan kembali oleh KPPU. Disamping permohonan tersebut pelaku usaha juga harus menyatakan alasannya untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan tambahan dilakukan hanya terhadap ditemukan bukti baru ya ng ada dalam berkas perkara dalam putusan yang telah diputus oleh KPPU. Namun apabila majelis hakim memandang kurang jelas, sehingga menganggap perlu dilakukan pemeriksaan tambahan maka KPPU akan melakukan pemeriksaan tambahan dengan menyebutkan hal apa yang menjadi kewajiban KPPU untuk dilakukan pemeriksaan.29
Dalam upaya keberatan atas putusan KPPU, pihak pengadilan adalah pihak yang harus memperoeh kejelasan atas putusan KPPU dan berkas perkara. Sehingga, seyogianya KPPU menyebutkan hal-hal apa saja yang masih belum jelas baginya dalam berkas perkara dan putusan KPPU.
Dalam hal dilakukan pemeriksaan tambahan, sehingga pemeriksaan oleh majelis hakim ditangguhkan. Setelah KPPU menyerahkan hasil pemeriksaan tambahan, maka sidang upaya hukum keberatan atas putusan KPPU dilanjutkan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari setelah KPPU menyerahkan hasil pemeriksaan tambahan.

3.5. Kasasi.
Dalam hal para pihak baik KPPU ataupun pelaku usaha merasa berkeberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri dalam upaya keberatan atas putusan KPPU, maka pihaknya dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Upaya kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung dalam kurun waktu 14 hari semenjak diterimanya putusan keberatan dari Pengadilan Negeri.
Mahkamah Agung mempunyai tugas untuk menjatuhkan putusan terhadap permohonan kasasi tersebut dalam kurun waktu 30 hari semenjak permohonan kasasi telah diterima oleh Mahkamah Agung.  

3.6. Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali adalah suatu upaya untuk memeriksa atau mementahkan kembali suatu putusan (baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Maupun Mahkamah Agung) yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht).36 Dasar untuk mengajukan upaya hukum ini dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Didalam pasal 67 menyebutkan syarat-syarat untuk dilakukan peninjauan kembali antara lain :
1.      Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang ternyata palsu;
2.      Ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3.      Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
4.      Bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.      Pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6.      Dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3.7. Pelaksanaan Putusan.
Terdapat dua golongan putusan yakni, putusan sela dan putusan akhir. Dalam hal ini yang akan dibahas dalam penulisan adalah tentang putusan akhir. Putusan menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan, yaitu:
1.      Putusan Declaratoir.
Putusan Declaratoir adalah putusan yang bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
2.      Putusan Constitutif.
Putusan Constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
3.      Putusan Condemnatoir.
Putusan Condemnatoir adalah putusan yang berisikan penghukuman. Misalnya, dimana  pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan rumahnya. Atau tergugat dihukum untuk membayar hutangnya.

Hukum Keberatan atas putusan KPPU dapat berupa:
1.      Menguatkan Putusan KPPU.
Pengadilan Negeri dalam memeriksa Upaya Keberatan atas Putusan KPPU berpendapat bahwa majelis KPPU telah benar dalam memeriksa perkara, baik berkenaan dengan fakta maupun penerapan hukumnya sehingga majelis hakim Pengadilan Negeri sependapat dengan putusan majelis KPPU.
2.      Membatalkan Putusan KPPU.
Apabila PengadilanNegeri berpendapat bahwa Majelis KPPU telah salah dalam memeriksa perkara, atau pelaku usaha tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap pengaturan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999, maka Pengadilan Negeri dapat membatalkan putusan majelis komisi.
3.      Membuat Putusan Sendiri.
Pengadilan Negeri mempunyai kewenangan untuk membuat putusan sendiri dalam menangani pekara keberatan..
Didalam Upaya Hukum Keberatan atas putusan KPPU, ditinjau dari sifatnya putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri ditinjau dari sifatnya dapat berupa:
1.      Putusan Declaratoir.
Menetapkan suatu keadaan misalnya pembatalan perjanjian. Bila Pengadilan Negeri menyatakan perjanjian yang dibuat pelaku usaha batal, maka dalam hal ini tidak diperlukan tindakan hukum apapun untuk mengeksekusinya.
2.      Putusan Condemnatoir.
Putusan Pengadilan ini menghukum pelaku usaha membayar ganti rugi atau denda. Dalam hal ini, apabila pelaku usaha tidak mau melaksanakan putusan tersebut maka diperlukan tindakan hukum berupa eksekusi. Mahkamah Agung yang mengabulkan keberatan dan kasasi pelaku usaha tidak dapat dieksekusi karena putusan itu hanya bersifat constitutif.Putusan tersebut hanya menyatakan bahwa putusan KPPU yang menyatakan pelaku usaha melanggar pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat batal dan dengan demikian timbul keadaan hukum baru.
Dalam setiap putusan hakim selalu mengandung amar declaratoir apabila gugatan dikabulkan. Hal ini terlihat dari pernyataan bahwa tergugat terbukti bersalah.Sebenarnya sangat tipis perbedaan antara putusan deklaratif dan constitutif karena pada dasarnya amar yang berisi putusan constitutif mempunyai sifat yang deklaratif. Putusan perkara monopoli dan persaingan usaha yang dapat dieksekusi adalah putusan condemnatoir yang menyatakan bahwa pelaku usaha melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan karenanya dijatuhi sanksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar