Nama : Hendah Lahyunita K
Kelas : 2EB08
NPM :
23211278
POSTING 5 : JURNAL ANTI MONOPOLI
TINJAUAN
MENGENAI PENGATURAN MONOPOLI BERDASARKAN HUKUM ( MONOPOLY BY LAW ) DI INDONESIA
FATHIANNISA
GELASIA
UNIVERSITAS
INDONESIA
3.1.2
Monopoly by Law dalam Pasal 50 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1999
KPPU
telah mengeluarkan pedoman No. 253/KPPU/Kep/VII/2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf (a) yang menegaskan mengenai jenis
perbuatan atau kegiatan dan perjanjian apa saja yang dapat dikecualikan. Dalam
mendalami pasal ini, perlu diperhatikan undang-undang apakah yang dimaksud,
sebab dalam tingkatan perundang-undangan yang berlaku maka kedudukan undang-undang
adalah setara. Sehingga perlu diteliti lebih lanjut maksud dari isi pasal ini
yang menyatakan undang-undang yang bagaimanakah yang dapat mengecualikan UU No.
5 Tahun 1999. Pasal 50 (a) merupakan ketentuan yang bersifat “pengecualian”
atau “pembebasan” yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konflik
berbagai kebijakan yang saling bertolak belakang namun sama-sama diperlukan
dalam perekonomian nasional..
Dalam
pelaksanaan monopoli sesuai dengan Pasal 50 (a) UU No.5 Tahun 1999 tedapat
beberapa unsur yang wajib dipenuhi, yaitu:
a.
Perbuatan dan/atau perjanjian.
b.
Bertujuan melaksanakan peraturan
tertentu.
c.
Menjalankan peraturan tertentu.
Dalam
pelaksanan tindakan monopoli maupun perjanjian monopoli haruslah didasari
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu yang memang mendelegasikan
pelaku usaha tersebut untuk melakukan tindakan monopoli dan/atau perjanjian
monopoli dengan pihak pelaku usaha lain dengan tujuan menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah mengacu pada ketentuan Pasal 7 (1) dan
ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang
mana disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundangundangan mencakup:
a) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c) Peraturan
Pemerintah
d) Peraturan Daerah
Pengecualian
yang diatur dalam Pasal 50 huruf a hanya berlaku bagi pelaku usaha yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah dan tidak dapat diterapkan kepada semua
pelaku usaha. Pengecualian tidak berlaku jika pelaku usaha melakukan perbuatan
dan atau perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah dari Undang-Undang kecuali peraturan yang dilaksanakan tersebut berdasarkan
delegasi secara tegas dari Undang-undang yang bersangkutan.
Ketentuan
pasal 50 huruf a hanya dapat diterapkan jika:
a. Pelaku
usaha melakukan perbuatan dan atau perjanjian karena melaksanakan ketentuan Undang-Undang
atau peraturan perundangundangan dibawah Undang-Undang tetapi mendapat delegasi
secara tegas dari Undang-undang.
b. Pelaku
usaha yang bersangkutan adalah pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemerintah.
Tujuan
ditetapkannya pedoman pelaksanaan pasal 50 huruf a adalah sebagai
berikut ini:
a) Agar
terdapat kesamaan tafsir terhadap masing-masing unsur atau elemen dari pasal 50
huruf a, sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya
kekeliruan atau sengketa di dalam penerapannya.
b) Agar
pasal 50 huruf a diterapkan dengan tepat, benar, dan adil, serta, konsisten
sehingga dapat dicapai kepastian hukum.
Dengan
pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengaturan pasal 50 huruf (a) UU
No. 5 Tahun 1999 hanya berlaku terhadap peraturan yang berupa UU atau dibawah
UU akan tetapi mendapat delegasi langsung dari UU yang berlaku. Jadi apabila
ada pelaku usaha yang melakukan tindakan monopoli berdasarkan sebuah peraturan
dibawah UU tanpa delegasi langsung dari UU maka pelaku usaha tersebut secara
tegas telah melanggar ketentuan dari pasal 50 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1999
ini. Jika dilihat dari ketentuan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan
dalam pelaksanaan monopoli tersebut, maka penentuan perbuatan ini termasuk ke
dalam Rule Of Reason dimana tujuan dan latar belakang dari pelaksanaan
perbuatan monopoli tersebut menjadi unsur utama dalam penerapan pasal 50 huruf
(a) UU No. 5 Tahun 1999.
3.1.3
Monopoly by Law dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999
Pasal
51 UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai monopoli oleh negara sebagai
berikut:
“Monopoli
dan/atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan/atau
pemasaran
barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang
dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga
yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”
Pengecualian
terhadap monopoli yang tercantum dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
a) Monopoli
atau pemusatan kegiatan
b) Yang
berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara.
c.)
Diatur dengan undang-undang.
d.)
Diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah
Perbuatan
yang harus dilakukan untuk memenuhi unsur dalam pasal 51 ini adalah monopoli
dan/atau pemusatan kekuatan yang dapat dilakukan oleh satu dan/atau beberapa orang
pelaku usaha. Unsur pemusatan kegiatan dalam pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 dapat
didefinisikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:
“Penguasaan
yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku
usaha
sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.”
Berdasarkan
definisi tersebut, pemusatan kegiatan pada dasarnya menggambarkan suatu keadaan
penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan yang dicerminkan dari
kemampuannya dalam menentukan harga yang dapat dicapai oleh satu atau lebih
pelaku usaha tanpa harus melakukan ataupun mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini disebutkan dalam pasal
6 UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing bahwa bidang-bidang produksi
yang penting meliputi pelabuhan; produksi; transmisi; distribusi listrik;
telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkit
tenaga atom; mass media. Barang-barang dan produksi yang dimaksud dalam pasal
ini merupakan barang-barang dan cabang produksi yang juga memilki kepentingan
besar dalam hal kepentingan baik devisa negara maupun aspek kepentingan
lainnya. Fungsi barang-barang dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak adalah sebagai berikut:
1. Alokasi,
yang ditujukan pada barang atau jasa yang berasal dari sumber daya alam yang
dikuasai negara untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
2. Distribusi,
yang diarahkan pada barang dan atau jasa yang dibutuhkan secara pokok oleh
masyarakat, tetapi pada suatu waktu tertentu atau terus menerus tidak dapat
dipenuhi pasar; dan atau
3. Stabilisasi,
yang berkaitan dengan barang dan atau jasa yang harus disediakan untuk
kepentingan umum, seperti barang dan atau jasa dalam bidang pertahanan
keamanan, moneter, dan fiskal, yang mengharuskan pengaturan dan pengawasan
bersifat khusus.
Sementara
pengertian cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara adalah ragam usaha
produksi atau penyediaan barang dan atau jasa yang memiliki
sifat:
1. Strategis,
yaitu cabang produksi atas barang dan/jasa yang secara langsung melindungi
kepentingan pertahanan negara dan menjaga keamanan nasional, atau
2. Finansial,
yaitu cabang produksi yang berkaitan erat dengan pembuatan barang dan/jasa
untuk kestabilan moneter dan jaminan perpajakan, dan sektor jasa keuangan yang
dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Menurut
UUD 1945 dalam Pasal 33 ditentukan bahwa “Semua cabangcabang produksi penting
yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Dari awalnya pun UUD 1945 memang telah menginstruksikan
adanya proteksi terhadap bidang-bidang perekonomian tertentu. Seperti contohnya
dalam hal ketenagalistrikan dimana listrik dianggap sebagai cabang produksi
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang apabila dalam pengelolannya
tidak mementingkan kesejahteraan rakyat maka rakyatlah yang akan menderita.
Maka dari itu ketenagalistrikan merupakan salah satu produksi penting yang
harus dikuasai negara. Dan dalam penguasaan negara tersebut, selama berjalan
sesuai dengan UU yang mengatur, akan dikecualikan dan dilindungi dalam ketentuan
UU No.5 Tahun 1999 terutama Pasal 51.
Pasal
51 UU No. 5 Tahun 1999, adalah BUMN, badan dan atau lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah dan badan dan atau lembaga yang dibentuk oleh pemerintah. BUMN dan
badan atau lembaga yang dibentuk pemerintah dapat menyelenggarakan monopoli
dan/atau pemusatan kegiatan secara bersama-sama sesuai dengan kebutuhan dan
pertimbangan berdasarkan peraturan perundangundangan. Dalam hal BUMN, badan
atau lembaga yang dibentuk pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk
menyelenggarakan monopoli dan atau pemusatan kegiatan, maka pemerintah dapat
menunjuk badan atau lembaga tertentu. Badan atau lembaga yang ditunjuk
pemerintah memiliki ruang lingkup yang luas, termasuk didalamnya adalah badan
atau lembaga perdata yang tidak memiliki keterkaitan dengan tugas dan fungsi
negara. Menurut teori hukum administrasi negara, penunjukan adalah kewenangan
dari pejabat adminstrasi negara yang berwenang dan bersifat penetapan untuk
menyelenggarakan atau menjalankan kegiatan tertentu secara sepihak. Dengan itu badan
atau lembaga yang ditunjuk pemerintah adalah badan atau lembaga yang ditetapkan
oleh pejabat administrasi negara yang berwenang.
Pengecualian
terhadap monopoli yang dilakukan oleh BUMN dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk pemerintah dan atau badan atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah
berlaku secara Rule of Reason. Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 secara tidak
langsung merupakan pengecualian terhadap pasal 33 UUD 1945 dimana pasal 33 UUD
1945 tersebut memberikan hak untuk menguasai produksi-produksi yang penting
bagi hajat hidup orang banyak dan penting bagi negara kepada BUMN, badan atau
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, dan badan atau lembaga yang ditunjuk
oleh pemerintah. Salah satu sebab mengapa BUMN dipilih untuk melakukan
pengelolaan tersebut adalah karena BUMN dipandang sebagai wakil negara sehingga
dalam pelaksanaannya tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan kecurangan dan
kesengsaraan bagi masyarakat luas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, hak
monopoli yang meniadakan persaingan tersebut justru membentuk perilaku BUMN
yang cenderung sewenang-wenang. Jika dilihat perbandingan BUMN pada masa orde
baru dengan BUMN pada masa sekarang yang sebagian besar sudah diprivatisasi
maka akan terlihat dengan jelas perbedaannya. Pertamina sebagai contoh, ketika
Pertamina masih merupakan satu-satunya perusahaan BUMN yang mempunyai hak
penguasaan utuh terhadap minyak, pelayanan yang diberikan Pertamina sangatlah
tidak bagus. Jarang sekali ada petugas Pertamina di pom bensin yang melayani
masyarakat dengan ramah. Akan tetapi ketika sudah diprivatisasi dan mulai masuk
perusahaan minyak lainnya sebagai saingan, pelayanan Pertamina meningkat
dratis. Dan tentu saja yang paling diuntungkan dengan hal tersebut adalah
masyarakat.
3.2 Implementasi
Peraturan-peraturan Monopoly by Law di Indonesia
3.2.1
Pasal 50 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1999
Implementasi
pasal 50 huruf (a) dapat ditemukan dalam kasus terkait dugaan monopoli yang
dilakukan oleh PT.JIExpo dalam penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta. Dugaan
tersebut dilayangkan oleh KPPU kepada PT.JIExpo dalam Surat Panggilan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha No. 33/SJ/VIII/2010 tertanggal 4 Agustus 2010. Dalam
Surat Panggilannya KPPU menduga adanya praktik monopoli yang dilakukan oleh
PT.JIExpo dalam penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta yang diadakan setiap tahun. Bila dikaitkan dengan fakta, penyelenggaraan
PRJ oleh badan penyelenggara dimana didalamnya termasuk kegiatan berupa
menjalankan usaha dalam bidang penyelenggaraan pameran, pertemuan dan seminar
baik nasional maupun internasional; menjalankan usaha dalam bidang promosi;
menjalankan usaha dalam bidang jasa rekreasi atau hiburan, masuk dalam
pengertian unsur perbuatan yang pengertiannya diperluas sehingga mencakup pula
kegiatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999. Hal
tersebut dikarenakan kata penyelenggaraan masuk dalam lingkup sesuatu yang
dilakukan atau diperbuat.
Penyelenggaraan
PRJ oleh PT.JIExpo merupakan sebuah perbuatan yang melaksanakan peraturan
perundang-undangan. Penyelenggaraan PRJ tersebut didasarkan atas Perda DKI
Jakarta No. 12 Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan PRJ. Dalam
penyelenggaraannya PT.JIExpo ditunjuk sebagai badan penyelenggara PRJ. Wewenang
tersebut muncul sebagai konsekuensi berlakunya Pasal 6 Perda No. 12 tahun
1991 yang menentukan sebagai berikut:
“Lokasi penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta ditetapkan secara
permanen
dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, di Kemayoran,
Kelurahan
Kemayoran, Kecamatan Kemayoran, wilayah Jakarta Pusat”
Selanjutnya
dalam Penjelasan Umum Perda No. 12 Tahun 1999, yang pada
pokoknya berisi:
“Berkenaan
dengan hal tersebut, daerah bekas Pelabuhan Udara Kemayoran,
Kelurahan
Kemayoran, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, seluas 44 Ha, telah
memenuhi
persyaratan dan dianggap tepst untuk lokasi Pekan Raya Jakarta yang baru. Hal
ini
sesuai pula dengan surat Menteri/Sekretaris Negara selaku Ketua Badan Pengelola
Kompleks
Kemayoran No. R-131/M.Setneg/5/1987 tanggal 19 Mei 1987, perihal:
Persetujuan
Petuntukan Sebagian Tanah Kompleks Kemayoran untuk Lokasi Pekan Raya
Jakarta”
Serta
Keputusan Gubernur DKI Jakarta, yakni diantaranya:
1) Keputusan
Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 949/2005 Tentang Penunjukkan PT. Jakarta
International Expo sebagai penyelenggara PRJ Tahun 1005.
2) Keputusan
Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 737/2006 Tentang Penunjukan PT. Jakarta
Internasional Expo sebagai penyelenggara PRJ Tahun 2006.
3) Keputusan
Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 720/2007 Tentang Penunjukan PT. Jakarta
Intersional Expo sebagai penyelenggara PRJ Tahun 2007.
4) Keputusan
Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 690/2008 Tentang Penunjukan PT. Jakarta
Internasional Expo sebagai penyelenggara PRJ Tahun 2008.
5) Keputusan
Gubernur Prov. DKI Jakarta No. 1062/2009 Tentang Penunjukan PT. Jakarta
Internasional Expo sebagai penyelenggara PRJ Tahun 2009.
Atas
berlakunya keputusan tersebut, PT. JIExpo berwenang untuk menjalankan suatu hal
yang dipandang perlu guna terselenggaranya PRJ. Dengan demikian, berdasarkan
fakta-fakta yuridis maupun empiris yang didapatkan, dalam kaitannya dengan
persaingan usaha dengan pelaku usaha yang lain, PT.JIExpo belum dapat dikatakan
telah melakukan cara-cara yang tidak jujur dan melawan hukum. Hal ini
dikarenakan PT.JIExpo melakukan tindakannya berdasarkan hukum, yakni Perda DKI
Jakarta No. 12 Tahun 1991 serta Keputusan Gubernur sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Perlu diingat bahwa dalam ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan Pasal
7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 ditentukan sebagai berikut:
(1) Jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945;
b. UU/PERPU;
c. Peraturan
Pemerintah;
d. Peraturan
Presiden;
e. Peraturan Daerah
Untuk
mengkaji lebih dalam mengenai pelaksanaan PRJ oleh PT.JIExpo yang diduga
merupakan sebuah praktik monopoli, maka dapat dilihat pemenuhan unsurunsur pengecualian
monopoli yang terdapat dalam Pasal 50 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1999 sebagai
berikut:
a) Unsur
Perbuatan
Bila
dikaitkan dengan fakta, penyelenggaraan PRJ oleh PT.JIExpo yang mana di dalam
mencakup penyelenggaraan pameran, pertemuan dan seminar baik nasional maupun
internasional, menjalankan usaha dalam bidang promosi, menjalankan usaha dalam
bidang jasa rekreasi/hiburan merupakan bagian dalam pengertian unsur perbuatan,
yang pengertiannya diperluas hingga mencakup pula kegiatan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 50 huruf (a) UU No.5 Tahun 1999. Hal tersebut dikarenakan kata penyelenggaraan
masuk dalam lingkup sesuatu yang dilakukan atau diperbuat. Dengan demikian
unsur ini terpenuhi.
b) Unsur
Bertujuan Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
Penyelenggaraan
PRJ oleh PT.JIExpo merupakan sebuah perbuatan yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan tertentu. Peraturan perundang-undangan Pasal 7
ayat (1) dan ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka Peraturan Daerah merupakan bagian dari hierarki peraturan
perundang-undangan tersebut. Dengan adanya kedua peraturan tersebut, maka unsur
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah
terpenuhi. Dengan begitu penunjukkan PT JIExpo sebagai Penyelenggara Pekan Raya
Jakarta melalui perda No. 12 Tahun 1991 tidak menyalahi hukum karena penyelenggaraan
tersebut dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu Perda No. 12 Tahun 1991, dimana perbuatan yang dilakukan dengan tujuan
melaksanakan Peraturan Perundang-undangan, termasuk yang dikecualikan oleh
Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 (monopoly by law).
3.2.2
Implementasi Pasal 33 UUD RI 1945 dan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999
Pasal
51 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak
Sehat menyebutkan bahwa:
“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup
orang
banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
diatur dengan
undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara
dan atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”
Sampai
saat ini terdapat beberapa cabang produksi masih dikuasai oleh negara lewat
BUMN, diantaranya sektor hilir minyak dan gas, ketenagalistrikan, dan jaminan
sosial tenaga kerja. Untuk kasus monopoli gas yang dipegang oleh Pertamina,
sampai saat ini sudah terdapat beberapa kasus yang sudah diproses di KPPU.
Kasus terakhir adalah kasus dugaan pelanggaraan UU No. 5 Tahun 1999 terkait
dengan pendistribusian elpiji di Sumatera Selatan. Dalam kasus tersebut pihak Pertamina
diputus tidak bersalah oleh Majelis Komisi.
Pertamina
merupakan salah satu contoh monopoli oleh Negara, baik terhadap komoditi minyak
maupun gas. Pertamina merupakan satu-satunya penyedia dan pendistribusi elpiji
hingga tahun 2000 dimana bisnis elpiji mulai diramaikan pelaku usaha lain
seperti Blue Gas dan My Gas. Meskipun sudah mulai tercipta persaingan dalam
pasar elpiji di Indonesia, persaingan yang sehat dan efektif tidak terwujud.
Hal
tersebut kembali dikuatkan dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
002/PUU-I/2003 yang merivisi Pasal 28 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi yang menyatakan bahwa Pemerintah diberikan kewenangan untuk turut
campur tangan terhadap harga komoditas minyak dan gas dalam negeri dengan
memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. PT.PLN atau PT. Perusahaan
Listrik Negara Persero juga merupakan salah satu perusahaan yang diberikan
mandat oleh negara untuk menjalankan usaha dan menyediakan listrik di
Indonesia. Berbeda dengan Pertamina yang sekarang sudah bukan satu-satunya lagi
penyedia elpiji di Indonesia, PT.PLN merupakan satusatunya perusahaan listrik
dan sekaligus pendistribusi listrik di Indonesia. Usaha PT.PLN ini merupakan
jenis monopoli murni yang ditujukkan oleh penyediaan barang atau produksi yang
unik dan tanpa barang pengganti yang dekat dan terutama karena PT.PLN merupakan
produsen tunggal. Tidak adanya persaingan dalam usaha penyediaan listrik salah
satunya juga disebabkan keterlibatan swasta dalam usaha penyediaan listrik
secara langsung sulit dilakukan. Hal tersebut dikarenakan adanya preseden
putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PII-I/2001 yang menyatakan bahwa UU
No. 21 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Edi
Swasono berpendapat bahwa “Monopoli oleh Pemerintahan secara definisi
diperbolehkan karena Pemerintah secara definisi melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan bahwa cabang-cabang produk yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dasar
dari pada ini adalah kepentingan negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat, bukan kemakmuran perorangan atau kemakmuran mancanegara.” Akan tetapi
harus disadari bahwa praktik monopoli bertentangan dengan jiwa dan semangat
serta dinamika globalisasi. Dalam hal ini patut diingat bahwa BUMN merupakan
organ pemerintah yang dibentuk dengan tujuan melayani masyarakat dan tidak
mencari keuntungan. Berbeda dengan perusahan swasta yang memang didirikan dan
dibentuk dengan tujuan untuk mencari keuntungan sebanya-banyaknya. Sehingga
bentuk monopoly by law yang dijalankan oleh BUMN secara teoritis memang
memenuhi kehendak dari Pasal 33 UUD 1945 dan pemberlakuan perlindungan hukum
antimonopoli yang ditetapkan dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 bertujuan untuk
melindungi kesinambungan kinerja BUMN untuk tetap melayani kepentingan
masyarakat. Yang harus digarisbawahi menyangkut hal ini adalah, selama kegiatan
monopoly by law yang dilakukan oleh BUMN tidak merugikan kepentingan
masyarakat dan pihak lain, maka Pasal 51 akan tetap berlaku. Akan tetapi ketika
unsur pemenuhan monopoly by law yang dilaksanakan oleh BUMN dilanggar,
maka Pasal 51 tidak lagi berkewajiban untuk menaungi kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh BUMN.
3.2.3
Impelementasi Peraturan terkait Monopoly by Law di Negara Lain
Di
Amerika Serikat, tidak semua monopoli dilarang. Menurut ketentuan Section 2 The
Sherman Act 1890 yang dilarang adalah monopolization atau monopolisasi.
Praktek monopoli menurut pengertian The Sherman Act ini adalah tindakan yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan menggunakan kekuatan monopoli (monopoly
power) atas suatu pasar produk dan atau pasar geografis (pasar yang bersangkutan)
tersebut. Jadi dalam hal ini Sherman Act menekankan adanya niat untuk menguasai
(melakukan praktek monopoli) dalam penerapan Section 2 The Sherman Act 1890
ini. Sherman Act sendiri diundangkan pada tahun 1890 sehubungan dengan
meluasnya kartelisasi, dan monopolisasi dalam ekonomi Amerika.
Pada
kasus tersebut hakim berpendapat bahwa penafsiran yang kaku terhadap ketentuan
dalam Section 1 Sherman Act tidak dapat diberlakukan dalam perjanjian bisnis
pada umumnya. Apabila dilakukan demikian (penafsiran yang kaku) maka akibatnya
semua perjanjian atau kerjasama adalah melanggar Section 1 Sherman Act, dan hal
tersebut bukan yang dimaksudkan oleh pembuat undangundang (Kongres). Bahwa yang
dimaksud membatasi perdagangan (restraint of trade) adalah
perjanjian/kontrak/kerjasama membatasi perdagangan secara tidak masuk akal (unreasonably
restraintt of trade). Pendapat lain dikemukakan oleh Henry Cheeseman yang
mengatakan bahwa di Amerika Serikat pengguna per se rule oleh Mahkamah
Agung apabila pembatasan perdagangan dianggap secara ingeren merupakan tindakan
anti persaingan (once a restraintt is characterize as a per se
violation, no defenses or justifications for restraint will save it, and
no further evidence need to be considered). Rule
of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se illegal
yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang- undang,
namun jika ada alasan objektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan
(reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu
pelanggaran. Di Amerika Serikat, pengadilan melakukan pengujian terhadap
kasus-kasus
yang ditangani dengan menggunakan faktor-faktor yang terdapat rule of reason
antara lain:155
1. The pro – and
anticompetitive effects of the challenged restraint
2. The competitive
structure of the industry
3. The firm market
share and power
4. The history and
duration of the restraintt
5. Other relevan
focus
Pengertian
prinsip rule of reason dan per se yang berdasarkan AntiTrust
Law Amerika Serikat merupakan hasil akumulasi pengalaman penerapan hukum
persaingan usaha. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat ini berasal
dari putusan Majelis Amerika Serikat dalam kasus Parker vs. Brown tahun
1943 sebagai respon terhadap upaya untuk memberlakukan aturan hukum
persaingan terhadap usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
yang sebelumnya tidak terbayangkan ketika Amerika Serikat mengundangkan
Sherman Act 1890.
Doktrin
ini kemudian diperluas lagi dengan mengijinkan pemberian status pengecualian
yang sepenuhnya merupakan badan yang dibentuk pemerintah. Doktrin ini terbukti
banyak memberikan keuntungan kepada pemerintah sepanjang status ini
dipergunakan sesuai dengan tujuannya terutama dari pendekatan efisiensi pada
level nasional sejak itu melalui berbagai putusan pengadilan di Amerika Serikat
menetapkan beberapa kriteria yang menentukan siapa sajakah yang dapat
dikecualikan menurut doktrin ini, yaitu:
a) Pihak yang
melakukannya adalah Negara (state) itu sendiri;
b) Pihak yang
mewakili Negara atau institusi;
c) Pihak ketiga atau
swasta atau privat yang ditunjuk dan diberikan
kewenangan oleh
negara.
Dampak
negatif dari pelaksanaan doktrin ini adalah apabila pengawasan tidak berjalan
dengan baik sesuai dengan kebijakan hukum persaingan maka akan berdampak secara
langsung kepada ekonomi secara nasional. Isi dari keseluruhan hukum antitrust
di Amerika Serikat memberikan beberapa pengecualian dalam peraturannya. The
Sherman Act menegaskan bahwa seluruh pengecualian yang terdapat di dalamnya
harus melalui persetujuan dari legislatif. Salah satu contoh monopoly by law
atau yang lebih dikenal di AmerikaSerikat sebagai statutory monopoly adalah
pemberian kewenangan untuk melakukan monopoli kepada Postal Office di Amerika
yang dinamakan The United States Postal Service. The Unites States
Postal Service atau USPS merupakan lembaga independen yang bertanggung
jawab dalam menyediakan layanan pos yang diberikan kewenangan langsung oleh United
States Constitution. The United States Post Office ini dibentuk
dibawah peraturan The Second Continental Congress berdasarkan Postal Clause
dalam Article 1 of The United States Constitution yang lalu
disempurnakan menjadi The Postal Reorganization Act pada tahun 1970.
USPS seringkali disalahartikan sebagai perusahaan milik negara karena
pengoperasiannya mirip seperti bisnis, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa
USPS merupakan “an independent establishment of the executive banch
of the Government of the United States” yang
dibawahi dan ditunjuk oleh Presiden.
Banyak
pihak, terutama dari kalangan ekonomis, yang menghendaki adanya privatisasi
terhadap USPS, atau setidaknya menghendaki diperbolehkannya adanya pelaku usaha
lain dalam bidang tersebut.
Pemberian
kewenangan kepada USPS untuk melaksanakan monopoli bagi kegiatan jasa pos
merupakan contoh statutory monopoly yang secara legal dapat diberikan
negara kepada USPS. Hal ini didasarkan pada ketentuan syarat bahwa jasa pos
tersebut merupakan sebuah public utitilities yang dalam pelaksanaannya,
untuk menghindari kepemilikan usaha tersebut oleh swasta, lebih baik diserahkan
kepada negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar