Nama : Hendah Lahyunita K
Kelas : 2EB08
NPM :
23211278
POSTING 8 : JURNAL ANTI MONOPOLI
UPAYA
KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES
PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK
SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK
GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI
HAMADHANI
UNIVERSITAS
INDONESIA
BAB
2
Tinjauan
Umum Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha Sebagai
Lembaga
Penyelesaian Permasalahan Persaingan Usaha dan Hukum Acara di
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha.
2.1. Latar
Belakang dan Landasan Yuridis Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Kegiatan usaha
kini memasuki babak baru setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan
peraturan baru diharapkan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat tanpa
adanya intervensi dari pihak manapun. Pada beberapa negara maju, penegakan
antimonopoli dan persaingan usaha yang sehat juga selalu diawasi oleh suatu
lembaga khusus yang berwenang dalam mengawasi kegiatan sehingga iklim
persaingan yang sehat dapat terwujud.
Untuk menjamin
terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat terwujudnya cita-cita dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persainga Usaha Tidak Sehat maka dibentuklah suatu komisi. Sehingga melalui
Keppres No. 75 Tahun 1999 lahirlah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di
Indonesia.
Dari segi
penegakkan hukum, Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 memiliki ciri khas yaitu adanya
keberadaan KPPU yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan Penyidikan,
Penuntutan dan juga sekaligus sebagai Pengadilan yang sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 dan Pasal 46 undang-undang nomor 5 tahun 1999.
KPPU sebagai
badan yang Independen dan bertugas mengawasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
KPPU memiliki wewenang yang cukup besar karena wewenang KPPU meliputi
kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan seperti melakukan pemeriksaan,
penuntutan, konsultasi, mengadili dan memutus perkara.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 berbeda dengan Undang-undang yang lain seperti misalnya
undang-undang no.37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban
membayar utang, atau undang-undang No.2 tahun 2004 tentang pengadilan hubungan
Industrial dan undang-undang no. 31 tahun 2004 tentang perikanan.Undang-undang
Nomor 5 tahun 1999 terdapat ketidak singkronan terutama dalam hukum acara
perdata di Indonesia.
Adapun peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum untuk beracara di KPPU adalah
sebagai berikut:
1.
Pasal
34- 46 Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
2.
Peraturan
perundang-undangan yang sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang no. 5
tahun 1999.
3.
Keputusan
Presiden (Keppres) No. 75 tahun 1999 tentag Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
4.
Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) No. 3 tahun 2005 tentang tata cara pengajuan upaya hukum
keberatan terhadap putusan KPPU.
5.
Peraturan
Mahkamah Agung (perma) No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
6.
Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 1 tahun 2006 tentang tata cara
penanganan perkara di KPPU.
7.
Herziene
Indonesisch Reglement (HIR)/ Hukum Acara Perdata, S. 1848 No. 16, S.1941 N.44.
8.
Undang-Undang
No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2.2. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Dalam Sistem Ketatanegaraan di
Indonesia.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Keputusan Presiden (Kepres) Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang KPPU mengatur lebih lanjut mengenai
keberadaan KPPU. Peraturan yang berkaitan dengan KPPU adalah Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Undang-undang ini juga memberikan
kewenangan bagi KPPU untuk dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap pelaku
usaha, apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
walaupun tanpa ada laporan dari masyarakat atau pihak yang dirugikan.
Dalam sistem
peradilan dibawah MA telah dikukuhkan empat lingkungan peradilan yang dalam hal
ini diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945
pada pasal 24. Adapun peradilan tersebut
meliputi:
·
Lingkungan
peradilan umum
·
Lingkungan
peradilan agama
·
Lingkungan
peradilan militer
·
Lingkungan
peradilan tata usaha negara
Keempat lingkungan peradilan
tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 dan diperbaharui
kembali menjadi Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undangundang
nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman mengatur mengenai dibentuknya
suatu pengadilan khusus didalam masing-masing lingkungan peradilan. Dalam pasal
27 ayat (1) dicantumkan jenis-jenis pengadilan khusus yang meliputi :
·
Pengadilan
Anak
·
Pengadilan
Niaga
·
Pengadilan
Hak Asasi Manusia
·
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
·
Pengadilan
Hubungan Industrial
·
Pengadilan
Pajak
·
Pengadilan
Perikanan
9 jenis
peradilan khusus dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu:
(i) Pengadilan HAM;
(ii) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor);
(iii) Pengadilan Niaga;
(iv) Pengadilan Perikanan;
(v) Pengadilan Hubungan Industrial;
(vi) Pengadilan Pajak;
(vii) Pengadilan Anak;
(viii) Pengadilan Pelayaran;
(ix) Pengadilan Syar‟iyah;
(x) Pengadilan Adat; dan
(xi) Pengadilan Tilang.
Kesembilan
pengadilan khusus dikelompokkan dalam salah satu dari 4 lingkungan peradilan
yang ditentukan dalam konteks keempat lingkungan peradilan yang telah diatur
dalam Pasal 24 UUD 1945. Menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, KPPU dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
itu. KPPU ditentukan oleh ayat (2) merupakan lembaga independen dari pengaruh pemerintah
dan pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut ayat (3), KPPU tetap
bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden.
Pemeriksaan,
KPPU menilai alat-alat bukti yang menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999
dapat terdiri atas (i) keterangan saksi, (ii) keterangan ahli, (iii) surat atau
dokumen, (iv) petunjuk, dan (v) keterangan pelaku usaha. Pada hakikatnya KPPU
adalah lembaga peradilan dalam arti yang luas, atau setidaknya dapat disebut
sebagai lembaga semi-peradilan. Sebagai lembaga peradilan yang bersifat
administratif, fungsi KPPU dapat digolongkan ke dalam lingkungan peradilan tata
usaha negara, tetapi apabila dilihat dari bidang sengketa hak yang
diselesaikannya.
Pihak yang melanggar
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49.
Sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan adalah (a) penetapan pembatalan
perjanjian, (b) perintah menghentikan integrasi vertikal, (c) perintah
penghentian kegiatan, (d) perintah penghentian penyalahgunaan posisi dominan,
(e) penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan dan pengambil-alihan
saham, (f) penetapan pembayaran ganti rugi, dan (g) pengenaan denda. Sedangkan
ketentuan pidana ditentukan terdiri atas pidana pokok sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 dan pidana tambahan sebagaimana diatur dala pasal 49 berupa (a)
pencabutan izin usaha, (b) larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris dalam
batas waktu tertentu, dan (c) penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain.
Dengan demikian
KPPU merupakan lembaga negara komplementer atau state auxiliary organ yang
mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1999 untuk melakukan
penegakan hukum persaingan usaha. State auxiliary organ adalah lembaga
negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu
pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (eksekutif, legislative, dan yudikatif) juga disebut dengan lembaga independen semu
negara quasi.
2.2.1
Pengaturan Aspek Kelembagaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Keputusan Presiden Nomor 75 tahun
1999.
Dalam pasal 30
ayat (2) undang-undang nomor 5 tahun 1999 ditentukan bahwa “Komisi adalah suatu
lembaga yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain”,
ayat (3) menyebutkan bahwa komisi bertanggung jawab kepada presiden. Dalam pasal
1 ayat (2) Keppres nomor 75 tahun 1999 bahwa komisi adalah lembaga non struktural
yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.
Kewenangan yang dimilik
oleh KPPU dapat ditarik kesimpulan bahwa KPPU adalah suatu lembaga negara atau
organ yang mempunyai fungsi untuk menciptakan norma (normcreating) serta
menjalankan norma (normplaying) dimana kedua fungsi ini merupakan ciri
dari sebuah lembaga serta pejabat yang menjalankan fungsi tersebut dengan
pejabat negara.
2.2.2
Perbedaan dan Persamaan Antara KPPU dan KPK Dalam Sistem Ketatanegaraan di
Indonesia.
KPPU dan KPK
adalah dua lembaga state auxiliary organ. Keduanya dibandingkan dengan
terdapat persamaan dan perbedaan antara KPPU dan KPK. Persamaan dari kedua
lembaga ini adalah lahir berdasarkan ketentuan undang-undang. KPK dibentuk
berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan KPPU dibentuk melalui
undang-undang nomor 5 tahun 1999. Prof. Jimly Ashidiqie mengatakan bahwa kedua
lembaga ini berbeda dalam hal kedudukannya. KPK disebut sebagai komisi Negara
yang independent berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional
importance.
Perbedaan yang
lain adalah dengan latar belakang pembentukan kedua komisi ini. KPK dibentuk
berawal dari respon yang tidak efektif kepolisisan dan kejaksaan dalam
memberantas korupsi yang semakin merajalela. Sehingga keberadaan komisi ini
sangat penting, hanya saja perlu adanya koordinasi dengan instansi yang
memiliki kewenangan serupa.
Sedangkan
pembentukan KPPU bertujuan untuk menjamin iklim usaha yang kondusif, dengan
adanya persaingan yang sehat, sehingga ada kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. KPPU
dibentuk juga untuk mendorong terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam
kegiatan usaha.
KPPU merupakan
suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dan
memelihara iklim persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan
memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Kedudukan KPPU lebih merupakan
lembaga administrative karena kewenangan melekat padanya kewenangan administratif,
sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.
2.2.3.
Pengangkatan Anggota KPPU.
Untuk dapat
menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha ada sejumlah persyaratan
tertentu yang harus dipenuhi oleh calon anggota KPPU. Persyaratan yang harus dipenuhi seseorang
untuk menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah:
-
Warga
negara republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 tahun dan setinggi-tingginya
60 tahun pada saat pengangkatan.
-
Setia
kepada pancasila dan undang-undang dasar 1945.
-
Beriman
dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa.
-
Jujur,adil,
dan berkelakuan baik.
-
Bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.
-
Berpengalaman
dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan
atau ekonomi.
-
Tidak
pernah dipidana
-
Tidak
pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan
-
Tidak
terafiliasi dengan suatu badan usaha. (pasal 32 undang-undang nomor 5 tahun
1999.
Anggota KPPU
tidak diperbolehkan terafiliasi dengan salah satu badan usaha, adalah untuk
mencegah terjadinya benturan kepentingan. Benturan kepentingan disini diartikan
suatu situasi yang dihadapi oleh setiap orang dalam setiap perbuatannya,
tindakannya sehari-hari dalam kapasitas apapun, di mana seseorang dalam menunaikan
kewajibannya, tidak dapat memiliki apa yang disebut dengan kepentingan pribadi,
kepentingan personal yang dapat setiap saat mempengaruhi setiap keputusan dalam
menunaikan kewajiban profesinya.
Mengenai
persyaratan untuk menjadi anggota KPPU tidak boleh terafiliasi
dengan salah satu badan usaha
sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor5
tahun 1999, diatur lebih lanjut
dalam pasal 6 Keputusa Presiden No. 75 tahun 1999. Dalam Kepres ini disebutkan
bahwa :
-
Dalam
menangani perkara, anggota Komisi bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah
serta pihak lain.
-
Anggota
Komisi yang menangani perkara dilarang:
a.
Mempunyai
hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan salah satu pihak
berperkara; atau
b.
Mempunyai
kepentingan dengan perkara yang bersangkutan.
-
Anggota
Komisi yang memenuhi ketentuan a dan b ini wajib menolak untuk menangani
perkara.
-
Apabila
terbukti anggota komisi memenuhi ketentuan a dan b, pihak yang berperkara
berhak menolak anggota komisi yang bersangkutan untuk memeriksa atau memutuskan
perkara dengan melampirkan bukti tertulis.
Didalam
pengaturan pasal 31 ayat 1 Undang-undang nomor 5 tahun 1999 diatur bahwa
anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Anggota komisi diangkat dan diberhentukan oleh presiden atas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usul pemerintah. Usul
pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, diajukan dalam jumlah
sekurang-kurangnya dua kali dari jumlah anggota komisi yang akan diangkat. Ketua
dan Wakil Ketua Komisi dalam hal ini dipilih dari anggota komisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar