Nama : Hendah Lahyunita K
Kelas : 2EB08
NPM :
23211278
POSTING 10 : JURNAL ANTI MONOPOLI
UPAYA
KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES
PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK
SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK
GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI
HAMADHANI
UNIVERSITAS
INDONESIA
2.4. Hukum Acara
di Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Hukum Acara di
KPPU telah diberlakukan sejak KPPU berdiri. Hukum acara ini telah mengalami
sekali perubahan dari SK Nomor 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang tata cara
penyampaian laporan dan penanganan dugaan penyelenggaraan Terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menjadi Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara di KPPU yang telah berlaku efektif sejak tahun 2006. Terhadap
peraturan tersebut kini telah kembali diperbarui dengan Peraturan Komisi Nomor
1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.
Pada prinsipnya
dalam penanganan perkara hukum persaingan usaha, terdapat tiga aspek hukum yang
berkaitan yakni perdata, administrasi negara, dan pidana. Mengenai aspek
perdata dan administrasi negara, diatur dalam pengaturan pasal Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan dalam aspek pidana, dalam penerapannya berdasar
pada KUHAP.
Wewenang KPPU
antara lain menangani dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
berdasarkan laporan masyarakat yang dirugikan atau inisiatif setelah mengetahui
adanya pelanggaran undang-undang persaingan usaha. Dalam hal
mendapatkan keyakinan, maka KPPU harus memastikan tentang ada atau tidaknya
perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha.
Sudah menjadi
tugas dari majelis komisi untuk melakukan penyelidikan apakah suatu hubungan
hukum yang menjadi dasar dari laporan dugaan mengenai ada atau tidaknya
pelanggaran yang dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.
Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang dilakukan karena adanya
laporan dari masyarakat yang dirugikan atau atas dasar laporan dari pelaku usaha
yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang dilaporkan. Apabila seorang pelapor
tidak dapat membuktikan dalilnya yang menjadi dasar laporannya, hal ini menjadikan
laporannya akan ditolak atau tidak akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan.
Dalam hal
pemeriksaan tersebut telah diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang dalam pasal ini dinyatakan :
1.
Komisi
dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi
pelanggaran undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.
2.
Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal 1 dilaksanakan sesuai dengan tata cara
sebagaimana diatur dalam pasal 39.
Dalam
pemeriksaan atas inisiatif63, KPPU
pertama-tama akan membentuk suatu majelis komisi untuk melakukan pemeriksaaan
terhadap pelaku usaha dan saksi. Dalam menjalankan tugas ini, majelis komisi
dibantu oleh staf komisi. Selanjutnya majelis komisi menetapkan jadwal
dimulainya pemeriksaan pendahuluan.
Klarifikasi dan
penelitian dalam proses hukum acara di KPPU dilakukan sendiri oleh KPPU melalui
kesekretariatan dengan tujuan mendapatkan kejelasan dan kelengkapan dari
laporan. Dalam tahap ini KPPU melakukan pemeriksaan dan mempelajari dokumen
laporan, serta mengklarifikasi data ke pelapor dan sumbersumber yang lainnya.
Setelah proses
klarifikasi selesai dilakukan, langkah penanganan selanjutnya adalah
pemberkasan. Pemberkasan disini dilakukan melalui kesekretariatan KPPU dan tim
pemberkasan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai layak atau tidaknya
perkara tersebut dilanjutkan ke gelar laporan. Hasil ini dari pemberkasan dituangkan
dalam laporan dugaan pelanggaran. Adapun isi laporan dugaan pelanggaran
meliputi :
a.
Identitas
pelaku usaha yang diduga melakukan pelangaran undang-undang nomor 5 tahun 1999.
b.
Perjanjian
dan/atau kegiatan yang diduga melanggar.
c.
Cara
perjanjian dan /atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan /atau
kerugian yang ditimbulkan.
d.
Ketentuan
undang-undang yang diduga dilanggar.
e.
Rekomendasi
: dilakukan gelar laporan atau diperbaiki.
Waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pemberkasan adalah 30 hari.
Setelah
dilakukan pemberkasan, segera sekretariat komisi melakukan gelar laporan dalam
rapat gelar laporan yang dihadiri oleh pimpinan KPPU dan sejumlah anggota KPPU
yang memenuhi kuorum.
Langkah KPPU
selanjutnya setelah melakukan gelar perkara adalah melakukan pemeriksaan
pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan dapat dimulai setelah KPPU mengeluarkan
surat penetapan atau keputusan tentang dapat dimulainya pemeriksaan
pendahuluan. Pasal 39 ayat 1 UU No.5/1999 menentukan bahwa jangka waktu
pemeriksaan pendahuluan adalah tiga puluh hari sejak tanggal surat penetapan
dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan. Tim pemeriksa pendahuluan terdiri
dari sekurang-kurangnya 3 orang anggota komisi. Dalam melakukan pemeriksaan
pendahuluan, tim pemeriksa disini dibantu oleh sekretariat komisi. Tujuan dari
dilakukan pemeriksaan pendahuluan adalah mendapatkan pengakuan terlapor dan
atau bukti awal yang cukup tentang terjadinya pelanggaran.
Apabila terlapor
bersedia untuk melakukan perubahan perilaku dengan mengakhiri perjanjian dan
atau kegiatan usaha yang diduga melanggar dan atau membayar ganti rugi, untuk
itu komisi dapat menetapkan untuk tidak dilakukan tindak lanjut pemeriksaan
pendahuluan. Bukti perubahan perilaku harus disampaikan kepada KPPU paling lama
60 hari terhitung sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan dan dapat diperpanjang
oleh komisi apabila terdapat alasan yang kuat.
Tahap berikutnya
setelah tahap pemeriksaan pendahuluan adalah tahap pemeriksaan lanjutan.
Sebelum dilakukan pemeriksaan lanjutan, KPPU mengeluarkan surat keputusan untuk
dimulainya pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh KPPU bila
telah ditemukan adanya indikasi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat, atau apabila KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan
dan pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada. Pasal 43
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa jangka waktu pemeriksaan lanjutan adalah
60 hari sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan, dan dapat diperpanjang
paling lama 30 hari.
Dengan berpegang
pada asas efisiensi serta keterbukaan, maka pada asasnya Komisi harus berusaha
memberitahukan putusannya pada pelaku usaha yang bersangkutan pada hari yang
sama dengan hari pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Dengan mengingat
pada pendeknya waktu (yakni 14 hari) yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk
mengajukan upaya hukum keberatan terhadap putusan Komisi, maka selayaknyalah
pemberitahuan putusan tidak harus dilakukan dengan in person melainkan dapat
dilakukan dengan bantuan sarana komunikasi yang modern seperti e-mail atau fax.
Namun apabila
pelaku usaha tidak puas dengan hasil dari pemeriksaan serta putusan dari KPPU
maka pelaku usaha tersebut masih bisa untuk melakukan upaya hukum keberatan
atas putusan KPPU. Apabila terhadap putusan KPPU tidak terdapat upaya hukum
hingga batas yang diatur, maka putusan tersebut akan berkekuatan hukum tetap dan terhadap putusan tersebut dimintakan
penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
2.4.1
Alat Bukti
Untuk
membuktikannya bahwa seorang pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap
pengaturan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, didalam pasal 42 diatur mengenai
alat bukti yang dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU adalah meluputi:
1.
Keterangan
saksi;
2.
Keterangan
ahli
3.
Surat
dan/atau dokumen
4.
Petunjuk
5.
Keterangan
terlapor
Majelis Komisi akan menentukan
sah atau tidaknya alat bukti dan menentukan nilai pembuktian disini berdasarkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Ad.1. Keterangan
Saksi.
Keterangan saksi
diperlukan untuk membuktikan ada atau tidaknya suatu pelanggaran yang dilakukan
oleh terlapor terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Definisi saksi adalah
setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan
keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Dalam laporan di KPPU, pelapor
berusaha untuk mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan
dalil laporan yang telah diajukan ke KPPU, dan sebaliknya pelaku usaha terlapor
akan berusaha sebisa mungkin untuk melakukan sanggahan melalui saksi-saksi yang
mendukungnya. Keterangan saksi akan menjadi kuat dan menjadi alat bukti yang sah
apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1.
Harus
mengucapkan sumpah atau janji.
2.
Keterangan
saksi yang bernilai sebagai bukti adalah apa yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
3.
Keterangan
saksi harus diberikan di sidang KPPU.
4.
Keterangan
seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa Terlapor bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
5.
Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Pada Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 pada pasal 73 dikatakan
bahwa saksi yang tidak boleh didengar keterangannya adalah keluarga sedarah
atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari terlapor dan atau pelapor, istri atau suami, anak yang belum berusia
tujuh belas tahun, atau orang sakit ingatan. Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010
juga mengatakan jika keterangan dari pihak tersebut diperlukan, maka Ketua Majelis
Komisi dapat meminta pihak tersebut untuk didengar keterangannya. Dari
ketentuan dalam Pasal 104 UU PTUN tersebut dapat diketahui bahwa saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang dialami,
dilihat atau didengar sendiri dalam pemeriksaan di siding pengadilan.
Ad.2. Keterangan
Ahli
Selanjutnya alat
bukti yang digunakan di KPPU adalah keterangan ahli. Berdasarkan pasal 1 ayat
20 Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2000 dijelaskan bahwa yang dimaksud saksi ahli adalah
seorang yang memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan kepada Majelis
Komisi. Definisi ahli menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang yang ahli, paham
sekali di suatu ilmu (kepandaian).81 Pada Perkom No. 1 Tahun 2010 pada pasal
75 menjelaskan bahwa orang yang dapat menjadi ahli diwajibkan memiliki keahlian
khusus yang dibuktikan dengan sertifikat yang berkaitan dengan keahliannya tersebut
ataupun memiliki pengalaman yang sesuai dengan keahliannya.
Ad.3. Surat
dan/atau Dokumen
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyertakan juga surat dan/atau dokumen dalam alat bukti
yang sah. Sudah barang tentu keduanya adalah alat bukti yang tertulis.
“Alat
bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk
mencurahkan
isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian
. Akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian
alat bukti surat. Suatu gambar, foto yang tidak memuat tanda-tanda bacaan atau
buah pikiran, demikian juga dengan denah atau peta, meskipun ada tanda bacanya,
tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atau isi hati seseorang adalah hanya
sekedar barang atau benda yang untuk meyakinkan saja.”
Ad.4. Petunjuk.
Petunjuk juga
merupakan alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian perkara persaingan
usaha. Mengenai alat bukti petunjuk tidak diberikan penjelasan dan kita musti
merujuk pada peraturan yang lain. Definisi petunjuk kita dapat merujuk pada
Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 pasal 72 yang mengatakan bahwa petunjuk
merupakan pengetahuan dari Majelis Komisi yang diketahui dan diyakini
kebenarannya.86
Petunjuk
dapat dijadikan sebagai alat bukti harus ditentukan kasus per kasus.
Ad.5. Keterangan
Terlapor.
Alat bukti
terakhir yang diatur dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
Keterangan Terlapor. Keterangan terlapor yang dimaksud dalam Undang-Undang ini
adalah apa yang terlapor nyatakan didepan Majelis Komisi mengenai perjanjian,
perbuatan yang ia lakuakan sendiri, ketahui sendiri, atau alami sendiri. Berdasarkan
Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 pasal 72 ayat 4 dijelaskan bahwa mengenai
keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali kecuali ada alasan yang sangat
kuat dan dapat diterima oleh majelis komisi.
Selain alat
bukti yang telah dijelaskan diatas, KPPU mengenal terminology Inderect
Evidence. Indirect evidence menurut undang-undang tidak dikenal dalam hukum
pembuktian persaingan usaha di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
hanya mengenal alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. KPPU telah menggunakan
Indirect evidence sebagai alat bukti salah satunya dalam perkara kartel minyak
goreng nomor 24/KPPU-I/2009
Indirect
evidence atau
circumstantial evidence telah digunakan oleh beberapa negara untuk
membuktikan bahwa telah terjadi kartel. Negara-negara yang menggunakan indirect
evidence ini diantaranya adalah Amerika Serikat, Korea, Jepang. Di dalam OECD
Policy Roundtables Prosecuting Cartels Without Direct Evidence tahun
2006, beberapa negara memberikan pandangannya mengenai pembuktian kartel tanpa
adanya bukti langsung. Amerika Serikat menjelaskan :
“in the absence of direct evidence of an agreement,
courts have considered a wide
range of
economic evidence that might support a finding that a market is conducive
to price-fixing.)”,
Pernyataan tersebut menjelaskan
bahwa indirect evidence digunakan dikarenakan ketiadaan bukti langsung
dalam perkara kartel, sehingga pengadilan mempertimbangkan cakupan yang luas
dari bukti ekonomi yang mungkin dapat mendukung untuk menemukan bahwa pasar
tersebut.
Dengan demikian,
penggunaan indirect evidence sudah menjadi hal yang wajar untuk
membuktikan adanya kartel. Pengertian dari indirect evidence adalah: “That proof which does not prove the fact in
question, but proves
another, the
certainty of which may lead to the discovery of the truth of the one sought.”
Apabila
diterjemahkan maka menjadi suatu bukti yang tidak membuktikan fakta didalam
pertanyaan, tapi membuktikan hal lain, suatu hal yang dapat membawa kepada
penemuan kebenaran yang dicari. Sebagai perbandingan di dalam hukum acara
perdata, ditinjau dari sifatnya alat bukti yang disebut dalam pasal 1866 KUH Perdata,
dapat diklasifikasi menjadi alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung.
Disebut alat bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan
di depan persidangan. Di samping alat bukti langsung terdapat juga alat bukti
tidak langsung, maksudnya pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik tetapi
yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di
persidangan, dimana alat bukti persangkaan dikategorikan sebagai alat bukti
tidak langsung ini. Berikut adalah beberapa contoh yang dapat dikategorikan
sebagai indirect evidence :
1.
Catatan
tentang banyaknya percakapan telepon antara para pesaing hanya berkenaan dengan
banyaknya (beberapa kali) percakapan telepon itu dilakukan bukan mengenai pembuktian
substansi percakapan yang melahirkan persekongkolan.
2.
Perjalanan
menuju tujuan yang sama, misalnya untuk menghadiri konferensi dagang; tanpa
membuktikan sama sekali adanya fakta terjadinya persekongkolan.
3.
Partisipasi
dalam pertemuan, tanpa membuktikan sama sekali substansi pertemuan tersebut
yang menghasilkan persekongkolan.
4.
Penafsiran
atau interpretasi, suatu yang terlarang dalam pembuktian pidana menurut prinsip
Hukum Acara Pidana. Pendapat atau rekaan yang diperoleh bukan merupakan bukti.
5.
Logika,
tidak membuktikan apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri.
6.
Bukti
ekonomi : amat tergantung kepada metode yang dipergunakan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menganut dua pendekatan yakni asas Per Se
Illegal dan asas rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah
menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa
pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau
kegiatan usaha tersebut.
Pada prinsipnya
terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per seillegal, yakni
pertama, harus ditujukan lebih kepada perilaku bisnis dari pada situasi pasar,
karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut,
misalnya, mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan
seperti ini dianggap adil, jika perbuatan ilegal tersebut merupakan tindakan
yang dilakukan secara sengaja oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindari.
Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau
batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan
dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat
ditentukan dengan mudah.
Pendekatan rule
of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas
persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan
tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.
Pendekatan rule
of reason ditujukan untuk mengakomodasi tindakan-tindakan yang berada dalam
zona yang abu-abu
yakni diantara zona legalitas dan
ilegalitas. Pendekatan ini memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi
terhadap undang-undang. Keunggulan rule of reason adalah, menggunakan
analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu
apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar