Kamis, 02 Mei 2013

POSTING 10 JURNAL KE 2


Nama          : Hendah Lahyunita K
Kelas          : 2EB08
NPM           : 23211278

POSTING 10 : JURNAL ANTI MONOPOLI

UPAYA KEBERATAN DAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN DI DALAM
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA KARTEL
MINYAK GORENG NOMOR 3/KPPU/2010/PN.JKT.PST)
FIKRI HAMADHANI
UNIVERSITAS INDONESIA

2.4. Hukum Acara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Hukum Acara di KPPU telah diberlakukan sejak KPPU berdiri. Hukum acara ini telah mengalami sekali perubahan dari SK Nomor 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang tata cara penyampaian laporan dan penanganan dugaan penyelenggaraan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU yang telah berlaku efektif sejak tahun 2006. Terhadap peraturan tersebut kini telah kembali diperbarui dengan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.
Pada prinsipnya dalam penanganan perkara hukum persaingan usaha, terdapat tiga aspek hukum yang berkaitan yakni perdata, administrasi negara, dan pidana. Mengenai aspek perdata dan administrasi negara, diatur dalam pengaturan pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan dalam aspek pidana, dalam penerapannya berdasar pada KUHAP.
Wewenang KPPU antara lain menangani dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 berdasarkan laporan masyarakat yang dirugikan atau inisiatif setelah mengetahui adanya pelanggaran undang-undang persaingan usaha. Dalam hal mendapatkan keyakinan, maka KPPU harus memastikan tentang ada atau tidaknya perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha.
Sudah menjadi tugas dari majelis komisi untuk melakukan penyelidikan apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar dari laporan dugaan mengenai ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang dilakukan karena adanya laporan dari masyarakat yang dirugikan atau atas dasar laporan dari pelaku usaha yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang dilaporkan. Apabila seorang pelapor tidak dapat membuktikan dalilnya yang menjadi dasar laporannya, hal ini menjadikan laporannya akan ditolak atau tidak akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan.
Dalam hal pemeriksaan tersebut telah diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dalam pasal ini dinyatakan :
1.      Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.
2.      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal 1 dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam pasal 39.
Dalam pemeriksaan atas inisiatif63, KPPU pertama-tama akan membentuk suatu majelis komisi untuk melakukan pemeriksaaan terhadap pelaku usaha dan saksi. Dalam menjalankan tugas ini, majelis komisi dibantu oleh staf komisi. Selanjutnya majelis komisi menetapkan jadwal dimulainya pemeriksaan pendahuluan.
Klarifikasi dan penelitian dalam proses hukum acara di KPPU dilakukan sendiri oleh KPPU melalui kesekretariatan dengan tujuan mendapatkan kejelasan dan kelengkapan dari laporan. Dalam tahap ini KPPU melakukan pemeriksaan dan mempelajari dokumen laporan, serta mengklarifikasi data ke pelapor dan sumbersumber yang lainnya.
Setelah proses klarifikasi selesai dilakukan, langkah penanganan selanjutnya adalah pemberkasan. Pemberkasan disini dilakukan melalui kesekretariatan KPPU dan tim pemberkasan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai layak atau tidaknya perkara tersebut dilanjutkan ke gelar laporan. Hasil ini dari pemberkasan dituangkan dalam laporan dugaan pelanggaran. Adapun isi laporan dugaan pelanggaran meliputi :
a.       Identitas pelaku usaha yang diduga melakukan pelangaran undang-undang nomor 5 tahun 1999.
b.      Perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar.
c.       Cara perjanjian dan /atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan /atau kerugian yang ditimbulkan.
d.      Ketentuan undang-undang yang diduga dilanggar.
e.       Rekomendasi : dilakukan gelar laporan atau diperbaiki.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemberkasan adalah 30 hari.

Setelah dilakukan pemberkasan, segera sekretariat komisi melakukan gelar laporan dalam rapat gelar laporan yang dihadiri oleh pimpinan KPPU dan sejumlah anggota KPPU yang memenuhi kuorum.
Langkah KPPU selanjutnya setelah melakukan gelar perkara adalah melakukan pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan dapat dimulai setelah KPPU mengeluarkan surat penetapan atau keputusan tentang dapat dimulainya pemeriksaan pendahuluan. Pasal 39 ayat 1 UU No.5/1999 menentukan bahwa jangka waktu pemeriksaan pendahuluan adalah tiga puluh hari sejak tanggal surat penetapan dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan. Tim pemeriksa pendahuluan terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang anggota komisi. Dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan, tim pemeriksa disini dibantu oleh sekretariat komisi. Tujuan dari dilakukan pemeriksaan pendahuluan adalah mendapatkan pengakuan terlapor dan atau bukti awal yang cukup tentang terjadinya pelanggaran.
Apabila terlapor bersedia untuk melakukan perubahan perilaku dengan mengakhiri perjanjian dan atau kegiatan usaha yang diduga melanggar dan atau membayar ganti rugi, untuk itu komisi dapat menetapkan untuk tidak dilakukan tindak lanjut pemeriksaan pendahuluan. Bukti perubahan perilaku harus disampaikan kepada KPPU paling lama 60 hari terhitung sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan dan dapat diperpanjang oleh komisi apabila terdapat alasan yang kuat.
Tahap berikutnya setelah tahap pemeriksaan pendahuluan adalah tahap pemeriksaan lanjutan. Sebelum dilakukan pemeriksaan lanjutan, KPPU mengeluarkan surat keputusan untuk dimulainya pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh KPPU bila telah ditemukan adanya indikasi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa jangka waktu pemeriksaan lanjutan adalah 60 hari sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan, dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari.
Dengan berpegang pada asas efisiensi serta keterbukaan, maka pada asasnya Komisi harus berusaha memberitahukan putusannya pada pelaku usaha yang bersangkutan pada hari yang sama dengan hari pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Dengan mengingat pada pendeknya waktu (yakni 14 hari) yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mengajukan upaya hukum keberatan terhadap putusan Komisi, maka selayaknyalah pemberitahuan putusan tidak harus dilakukan dengan in person melainkan dapat dilakukan dengan bantuan sarana komunikasi yang modern seperti e-mail atau fax.
Namun apabila pelaku usaha tidak puas dengan hasil dari pemeriksaan serta putusan dari KPPU maka pelaku usaha tersebut masih bisa untuk melakukan upaya hukum keberatan atas putusan KPPU. Apabila terhadap putusan KPPU tidak terdapat upaya hukum hingga batas yang diatur, maka putusan tersebut akan berkekuatan hukum tetap  dan terhadap putusan tersebut dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.

2.4.1 Alat Bukti
Untuk membuktikannya bahwa seorang pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap pengaturan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, didalam pasal 42 diatur mengenai alat bukti yang dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU adalah meluputi:
1.      Keterangan saksi;
2.      Keterangan ahli
3.      Surat dan/atau dokumen
4.      Petunjuk
5.      Keterangan terlapor
Majelis Komisi akan menentukan sah atau tidaknya alat bukti dan menentukan nilai pembuktian disini berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Ad.1. Keterangan Saksi.
Keterangan saksi diperlukan untuk membuktikan ada atau tidaknya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Definisi saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Dalam laporan di KPPU, pelapor berusaha untuk mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil laporan yang telah diajukan ke KPPU, dan sebaliknya pelaku usaha terlapor akan berusaha sebisa mungkin untuk melakukan sanggahan melalui saksi-saksi yang mendukungnya. Keterangan saksi akan menjadi kuat dan menjadi alat bukti yang sah apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1.      Harus mengucapkan sumpah atau janji.
2.      Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
3.      Keterangan saksi harus diberikan di sidang KPPU.
4.      Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terlapor bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
5.      Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 pada pasal 73 dikatakan bahwa saksi yang tidak boleh didengar keterangannya adalah keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terlapor dan atau pelapor, istri atau suami, anak yang belum berusia tujuh belas tahun, atau orang sakit ingatan. Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 juga mengatakan jika keterangan dari pihak tersebut diperlukan, maka Ketua Majelis Komisi dapat meminta pihak tersebut untuk didengar keterangannya. Dari ketentuan dalam Pasal 104 UU PTUN tersebut dapat diketahui bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri dalam pemeriksaan di siding pengadilan.

Ad.2. Keterangan Ahli
Selanjutnya alat bukti yang digunakan di KPPU adalah keterangan ahli. Berdasarkan pasal 1 ayat 20 Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2000 dijelaskan bahwa yang dimaksud saksi ahli adalah seorang yang memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan kepada Majelis Komisi. Definisi ahli menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang yang ahli, paham sekali di suatu ilmu (kepandaian).81 Pada Perkom No. 1 Tahun 2010 pada pasal 75 menjelaskan bahwa orang yang dapat menjadi ahli diwajibkan memiliki keahlian khusus yang dibuktikan dengan sertifikat yang berkaitan dengan keahliannya tersebut ataupun memiliki pengalaman yang sesuai dengan keahliannya.

Ad.3. Surat dan/atau Dokumen
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyertakan juga surat dan/atau dokumen dalam alat bukti yang sah. Sudah barang tentu keduanya adalah alat bukti yang tertulis.
“Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian . Akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti surat. Suatu gambar, foto yang tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran, demikian juga dengan denah atau peta, meskipun ada tanda bacanya, tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atau isi hati seseorang adalah hanya sekedar barang atau benda yang untuk meyakinkan saja.”

Ad.4. Petunjuk.
Petunjuk juga merupakan alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian perkara persaingan usaha. Mengenai alat bukti petunjuk tidak diberikan penjelasan dan kita musti merujuk pada peraturan yang lain. Definisi petunjuk kita dapat merujuk pada Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 pasal 72 yang mengatakan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan dari Majelis Komisi yang diketahui dan diyakini kebenarannya.86 Petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti harus ditentukan kasus per kasus.

Ad.5. Keterangan Terlapor.
Alat bukti terakhir yang diatur dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Keterangan Terlapor. Keterangan terlapor yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah apa yang terlapor nyatakan didepan Majelis Komisi mengenai perjanjian, perbuatan yang ia lakuakan sendiri, ketahui sendiri, atau alami sendiri. Berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 pasal 72 ayat 4 dijelaskan bahwa mengenai keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali kecuali ada alasan yang sangat kuat dan dapat diterima oleh majelis komisi.
Selain alat bukti yang telah dijelaskan diatas, KPPU mengenal terminology Inderect Evidence. Indirect evidence menurut undang-undang tidak dikenal dalam hukum pembuktian persaingan usaha di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya mengenal alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. KPPU telah menggunakan Indirect evidence sebagai alat bukti salah satunya dalam perkara kartel minyak goreng nomor 24/KPPU-I/2009

Indirect evidence atau circumstantial evidence telah digunakan oleh beberapa negara untuk membuktikan bahwa telah terjadi kartel. Negara-negara yang menggunakan indirect evidence ini diantaranya adalah Amerika Serikat, Korea, Jepang. Di dalam OECD Policy Roundtables Prosecuting Cartels Without Direct Evidence tahun 2006, beberapa negara memberikan pandangannya mengenai pembuktian kartel tanpa adanya bukti langsung. Amerika Serikat menjelaskan :

“in the absence of direct evidence of an agreement, courts have considered a wide
range of economic evidence that might support a finding that a market is conducive
to price-fixing.)”,

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa indirect evidence digunakan dikarenakan ketiadaan bukti langsung dalam perkara kartel, sehingga pengadilan mempertimbangkan cakupan yang luas dari bukti ekonomi yang mungkin dapat mendukung untuk menemukan bahwa pasar tersebut.
Dengan demikian, penggunaan indirect evidence sudah menjadi hal yang wajar untuk membuktikan adanya kartel. Pengertian dari indirect evidence adalah: “That proof which does not prove the fact in question, but proves another, the certainty of which may lead to the discovery of the truth of the one sought.
Apabila diterjemahkan maka menjadi suatu bukti yang tidak membuktikan fakta didalam pertanyaan, tapi membuktikan hal lain, suatu hal yang dapat membawa kepada penemuan kebenaran yang dicari. Sebagai perbandingan di dalam hukum acara perdata, ditinjau dari sifatnya alat bukti yang disebut dalam pasal 1866 KUH Perdata, dapat diklasifikasi menjadi alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Disebut alat bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan. Di samping alat bukti langsung terdapat juga alat bukti tidak langsung, maksudnya pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan, dimana alat bukti persangkaan dikategorikan sebagai alat bukti tidak langsung ini. Berikut adalah beberapa contoh yang dapat dikategorikan sebagai indirect evidence :
1.      Catatan tentang banyaknya percakapan telepon antara para pesaing hanya berkenaan dengan banyaknya (beberapa kali) percakapan telepon itu dilakukan bukan mengenai pembuktian substansi percakapan yang melahirkan persekongkolan.
2.      Perjalanan menuju tujuan yang sama, misalnya untuk menghadiri konferensi dagang; tanpa membuktikan sama sekali adanya fakta terjadinya persekongkolan.
3.      Partisipasi dalam pertemuan, tanpa membuktikan sama sekali substansi pertemuan tersebut yang menghasilkan persekongkolan.
4.      Penafsiran atau interpretasi, suatu yang terlarang dalam pembuktian pidana menurut prinsip Hukum Acara Pidana. Pendapat atau rekaan yang diperoleh bukan merupakan bukti.
5.      Logika, tidak membuktikan apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri.
6.      Bukti ekonomi : amat tergantung kepada metode yang dipergunakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menganut dua pendekatan yakni asas Per Se Illegal dan asas rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.
Pada prinsipnya terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per seillegal, yakni pertama, harus ditujukan lebih kepada perilaku bisnis dari pada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya, mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan seperti ini dianggap adil, jika perbuatan ilegal tersebut merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah.
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.
Pendekatan rule of reason ditujukan untuk mengakomodasi tindakan-tindakan yang berada dalam zona yang abu-abu  yakni diantara zona legalitas dan ilegalitas. Pendekatan ini memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang. Keunggulan rule of reason adalah, menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar