Nama : Hendah Lahyunita K
Kelas : 2EB08
NPM :
23211278
POSTING 2 : JURNAL ANTI MONOPOLI
TINJAUAN
MENGENAI PENGATURAN MONOPOLI BERDASARKAN HUKUM ( MONOPOLY BY LAW ) DI INDONESIA
FATHIANNISA
GELASIA
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 2
MONOPOLI DALAM KETENTUAN PERSAINGAN USAHA
DI INDONESIA
2.1
Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Praktik
monopoli pertama kali secara resmi dimulai pada tanggal 20 Maret 1602, yaitu
pada saat pemerintah Belanda atas persetujuan Staten Generaal memberikan
hak (octrooi) untuk berdagang sendiri (monopoli) pada VOC di wilayah
Indonesia (Hindia Timur). Alasannya, sebagai negara yang baru merdeka dengan hiruk-pikuk dan
semangat revolusioner yang masih sangat kental dengan pikiran-pikiran yang
masih mudah berubah terlalu riskan untuk
dikristalisasi dan
dibentuk (gestaltung).
Aspek
praktik monopoli pada masa Orde Baru berkembang sangat pesat, sehingga pada
masa itu pelaku usaha yang dapat bersaing dalam pasar persaingan hanyalah
pelaku usaha yang “dikehendaki” oleh pemerintah untuk menjalankan usahanya
secara monopoli. Pada tahun 1995 pun, World Bank dalam laporannya pernah
memberikan “fatwa” untuk kesekian kalinya tentang adanya praktik kartel,
monopoli, pengendalian harga dan lisensi eksekutif yang secara kasat mata
terjadi dalam perekonomian Indonesia. Begitu banyak pembatasan-pembatasan dan
regulasi dalam perdagangan yang menghambat efisiensi dan semuanya bermuara pada
terciptanya ekonomi biaya tinggi (high cost company) dan menyebabkan terjadinya
distorsi ekonomi.
Reformasi
yang bergejolak di Indonesia pada awalnya dipicu oleh kegagalan pemerintahan
Orde Baru dalam menjalankan amanah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di bidang
pembangunan ekonomi (khususnya dalam mencegah praktik monopoli) yang
mengakibatkan terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok tertentu
dalam masyarakat. Pada tahun 1998, krisis moneter yang terjadi di Indonesia,
yang dikatakan sebagai dampak ikutan (contagion effect) atas
krisis moneter yang terjadi di Thailand justru membuka kelemahan fundamental
ekonomi Indonesia yang dibangun atas dasar pinjaman dan utang luar negeri yang
sangat besar.
Secara
umum latar belakang lahinrya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
1. Landasan
Yuridis
Secara
tegas, pasal 33 UUD 1945 merupakan konsep dasar dari perekonomian nasional yang
menurut Mohammad Hatta berdasarkan sosialiskooperatif. Isi pasal 33 UUD 1945
tersebut telah menegaskan norma dasar Negara Indonesia dimana seluruh
pembangunan perekonomian Indonesia haruslah bertitik tolak dan berorientasi
pada pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Aturan-aturan
mengenai perekonomian yang terkait dengan persaingan usaha sudah
sejak lama dibentuk dan disusun akan tetapi dalam sosialisasinya dengan masyarakat
luas belum terintegrasi dengan baik. Contoh dari aturan-aturan terkait yang
ada antara lain: UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria; UU No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian; UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merk; PP No. 70 Tahun 1992 tentang
Bank Umum; UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; UU No. 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal, dan sebagainya.
Pada
akhirnya jaminan terhadap pelaksanaan persaingan usaha yang sehat dan
adil serta jauh dari praktik monopoli diwujudkan oleh hak inisiatif yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini
diharapkan dapat mengendalikan jalannya persaingan usaha di Indonesia agar
terwujud iklim usaha persaingan usaha yang sehat dan adil serta transparan dan
mewujudkan perekonomian Indonesia yang sejahtera dan adil merata bagi
masyarakat.
2. Landasan
Sosio-Ekonomi
Apabila
dilihat dari sisi sosio-ekonomi, pembentukkan dari UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah untuk menciptakan
landasan ekonomi yang kuat dan stabil untuk mewujudkan perekonomian yang sehat
dan bebas dari monopoli di pasar persaingan. Jika dilihat pada masa Orde Baru,
ekonomi yang dibangun pada masa itu tidak dibangun berdasarkan pada teori hukum
pembangunan. Akibatnya, banyak pelaku
ekonomi yang tidak mempunyai pijakan ekonomi yang kuat yang berdasarkan
inovasi, kreasi dan produktivitas serta pertumbuhan yang berbasis sektor riil
menjadi ambruk.
Kehadiran
Undang-Undang tentang Persaingan Usaha di Indonesia merupakan prasyarat prinsip
ekonomi modern. Yaitu prinsip yang menjunjung tinggi terwujudnya persaingan
usaha yang sehat, terbuka dan kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam
pasar persaingan usaha. Dengan adanya UU ini, diharapkan para pelaku usaha
termotivasi untuk bersaing secara sehat, adil dan terbuka untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
3. Landasan
Politis dan Internasional
Pembentukkan
sebuah peraturan anti monopoli untuk menunjang perekonomian yang bebas monopoli
dan sehat telah menjadi sebuah wacana yang penting di Indonesia. Akan tetapi wacana tersebut sulit untuk
direalisasikan melihat kurangnya political will pemerintah dalam bidang ekonomi
yang belum berpihak.
Bahkan
setelah dibentuknya UU No. 5 Tahun 1999 banyak terdapat opini prodan kontra
terhadap UU tersebut. Ada beberapa
alasan mengapa UU Anti monopoli sulit untuk disetujui oleh Orde Baru pada masa
itu.
Pertama,
pemerintahan pada masa Orde Baru menganut prinsip bahwa perusahaan-perusahaan
besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan dan hanya dapat
menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberikan perlakuan
khusus oleh pemerintah.NPerlakuan khusus tersebut dalam arti lain adalah pemberian
kekuasaan terhadap sebuah perusahaan untuk menjalankan sebuah praktik
monopoli.
Kedua,
pemberian fasilitas monopoli tesebut merupakan sebuah upaya untuk memperoleh
kesediaan investor dalam menanamkan modalnya di sektor tersebut.
Berdasarkan
beberapa alasan politis diatas, maka Dewan Perwakilan Rakyat pun menggunakan
hak inisiatif mereka untuk mengusulkan pembentukan Undang-Undang Antimonopoli.
Inilah yang disebut dengan politik hukum, sebab hukum yang terbentuk berdasarkan
konsesnsus politik yang ada.
Dari
segi hubungan internasional, lahir dan berlakunya UU No. 5 Tahun 1999 juga
merupakan konsekuensi dari diratifikasinya perjanjian Marrakesh oleh DPR dengan
UU No. 7 Tahun 1974 dimana UU tersebut mengharuskan Indonesia untuk membuka
diri dan tidak boleh memberikan perlakuan diskriminatif, seperti pemberian
proteksi terhadp entry barrier suatu perusahaan dan adanya tekanan IMF yang
telah menjadi kreditor bagi Indonesia dalam membatasi krisis moneter yang telah
dahsyat melanda dan menjadikan terpuruknya ekonomi Indonesia secara meluas.
Untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan dari dibentuknya UU No. 5 Tahun 1999 maka
dibentuklah sebuah lembaga pengawas pelaksanaan persaingan usaha di Indonesia
yang dinamakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Tugas berat KPPU ini
menjadi semakin berat apabila dilihat dari segi kondisi perdagangan Indonesia
yang semakin kompleks dan meluas, sehingga dalam menjalankan tugasnya KPPU
sering diberikan kewenangan lebih yaitu menyidik dan memutus sebuah kasus
tertentu yang memang membutuhkan penanganan lebih dalam penyelesaiannya.
Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam hal memberikan perhatian lebih bagi
dunia persaingan usaha. Sebagai perbandingan negara lain telah mempunyai perundangan
persaingan usaha dan antimonopoli sejak tahun 1990.
2.1.1
Pengaturan Persaingan Usaha Sebelum UU No. 5 Tahun 1999
Sebelum
lahinrya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktik Persaingan
Tidak Sehat di Indonesia sudah banyak pengaturan lainnya yang setidaknya
menyinggung pembahasan mengenai pengaturan persaingan usaha. Akan tetapi banyak
dari peraturan tersebut yang hanya membahas secara implisit saja, tidak secara
menyeluruh. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya:
1. Pasal
382 W.V.S (KUHP)
Berdasarkan
pasal di atas ada dipenuhi dua syarat, yakni:
a. Terjadinya
tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai persaingan curang.
b. Perbuatan
persaingan curang dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan hasil perdagangan
atau perusahaan, melangsungkan hasil perdagangan atau perusahaan, dan
memperluas hasil perdagangan.
2. Pasal 1365 KUHPerdata
3. Dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR):
Upaya
pencegahan terhadap terjadinya praktik monopoli dan usaha tidak sehat tedapat dalam
ketetapan-ketetapan MPR yaitu:
a. Ketetapan
MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN bidang Pembangunan Ekonomi
b. Ketetapan
MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi pada Sub
Bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.
c. Ketetapan
MPR RP No. II/MPR/1983 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang
Dunia Usaha Nasional.
4. UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
Pada
pasal 13 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok gararia menentukan
pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasiorganisasi dan
perseorangan yang bersifat monopoli swasta. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa
monopoli pemerintah dalam lapangan agraria dapat diselenggarakan asal dilakukan
berdasarkan undang-undang.
5. UU
No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
6. Pasal
81 dan 82 UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah diubah menjadi
UU No. 14 Tahun 1997. Pasal 81 dan 82 pada intinya melarang setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik orang
lain atau milik badan hukum untuk barang dan jasa sejenis yng diproduksi dan
atau diperdagangkan. Menurut pasal 83 perbuatan yang diatur dalam pasal 81 dan
92 merupakan kejahatan.
2.1.2
Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Asas
yang dianut dalam pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 adalah asas demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum sebagaimana tertera dalam pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999. Asas
demokrasi ekonomi merupakan inti dari sistem ekonomi pancasila.
Tujuaan
Hukum Persaingan Usaha tidak hanya terbatas pada perlindungan kepentingan
persaingan saja, dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-Undang Antimonopoli yaitu UU
No. 5 Tahun 1999 dimana ketentuannya tidak hanya terbatas pada tujuan utama
perundang-undangan anti monopoli, yaitu sistem persaingan usaha yang bebas dan
adil, dimana terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku
usaha, dan tidak adanya perjanjian atau penggabungan usaha yang menghambat
persaingan serta penyalahgunaan kekuataan ekonomi, sehingga bagi semua pelaku
usaha tersedia ruang gerak yang luas dalam melakukan kegiatan ekonomi.49 Selain
itu pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder perundangundangan anti monopoli yang
ingin dicapai sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, yaitu untuk
menciptakan kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien,
sehingga konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi yaitu penyediaan barang
dan jasa konsumen secara optimal dapat dilaksanakan.
Di
Indonesia, tujuan hukum persaingan usaha tertera dalam konsiderans UU No. 5
Tahun 1999 yang berisikan dasar pemikiran yang melatarbelakngi kelahiran Undang-Undang
Anti Monopoli di Indonesia. Dasar pemikiran tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Bahwa
pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan
rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa
demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien,
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang
wajar;
3. Bahwa
setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan
yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan
ekonomi dan pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang
telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian internasional”
Secara
umum, Undang-Undang Anti Monopoli di Indonesia bertujuan untuk menjaga
kelangsungan persaingan (competition) dalam dunia usaha. Undang-Undang
Anti Monopoli di Indonesia merupakan sebuah produk perundang-undangan yang
lahir berdasarkan desakan dari International Monetary Fund (IMF) demi kemudahan
memperoleh bantuan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di Indonesia. Undang-Undang
Anti Monopoli ini dibentuk pada tanggal 5 Maret 1999 atas inisiatif Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada tanggal 5
Maret 2000. Kegiatan persaingan merupakan sebuah sarana motivator bagi pelaku
usaha untuk melaksanakan kegiatan usahanya dengan seefisien mungkin sehingga
dapat menghasilkan produk-produk berupa barang-barang dan atau jasa-jasa dengan
harga jual yang rendah dan terjangkau oleh masyarakat luas.
Ketiga
tujuan tersebut dimaksudkan untuk mendukung sistem ekonomi pasar yang dianut
oleh suatu Negara. Tanpa adanya hukum persaingan dalam system ekonomi pasar,
praktik monopoli, oligopoli, penetapan harga (price fixing), dan sebagainya
tidak akan dapat dihindarkan. Pada akhinrya, tindakan tersebut akan membawa
akibat kepada konsumen untuk menanggung kerugiannya.
2.1.3
Substansi Hukum Persaingan Usaha
Pada
umumnya Hukum Persaingan Usaha berisikan mengenai hal-hal sebagai
berikut:
1. Ketentuan-ketentuan
tentang perilaku yang berkaitan dengan aktivitasaktivitas usaha;
2. Ketentuan-ketentuan
struktural yang berkaitan dengan aktivitas usaha;
3. Ketentuan-ketentuan
prosedural tentang pelaksanan dan penegakkan hukum persaingan usaha.
Khemani berpendapat
bahwa:
“competition
laws generally consist ofsubstantive conduct and structural provisions
relating
to business activity, together with additional procedural provisions on
administration
and enforcement”
Tindakan-tindakan
yang dilarang oleh Hukum Persaingan Usaha dapat
dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Tindakan
Anti Persaingan
Tindakan
Anti Persaingan merupakan tindakan-tindakan yang bersifat menghalangi atau
mencegah atau menghindari adanya persaingan. Persaingan merupakan proses
perebutan pangsa pasar, konsumen dan keuntungan. Seringkali untuk memenangkan
persaingan dalam sebuah pangsa pasar, para pelaku usaha saling menekan harga
untuk memenangkan perebutan konsumen. Bagi pelaku usaha yang bersifat profit
motive, konsekuensi ini cenderung dipandang negativ sehingga seringkali mereka
memilih untuk tidak bersaing.
Tindakan-tindakan
anti persaingan secara langsung maupun tidak langsung dapat mengarah kepada
monopoli sehingga secara sempit dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai hal tersebut dikatakan sebagai pengaturan anti monopoli atau antitrust.
2. Tindakan
Persaingan Curang
Tindakan
persaingan curang dengan tindakan antipersaingan mempunyai pengertian yang sama
yaitu perilaku usaha yang tidak dikehendaki. Menyebut tindakan persaingan
curang sebagai persaingan tidak sehat yang melanggar moral yang baik. Contoh
tindakan yang Lampert maksud adalah sebagai berikut
-
Mempengaruhi konsumen melalui tipuan atau informasi yang menyesatkan
-
Memalsukan merek dagang pihak lain
-
Mengirimkan barang yang tidak dipesan sehingga menyebabkan peneriman
dalam posisi dipaksa
-
Membuat iklan tandingan yang menjelek-jelekkan pesaing
-
Menyebarkan informasi palsu tentang pesaing
-
Melakukan boikot
-
Penurunan harga secara tidak wajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar